Seyogyanya bahan pembicaraan di dalam artikel ini bukanlah sesuatu hal yang baru. Penulis bahkan baru tersentil untuk mengangkat topik ini setelah secara kebetulan membaca dua artikel di situs http://sillystupidlife.com/2009/04/01/time-to-speak-out/ dan http://the-tao-of-marcell.blogspot.com/2009/04/mohon-maaf.html--hasil blog walking Penulis. Intinya, kedua artikel tersebut mengungkapkan keberatan mereka terhadap penggunaan kata 'Autis' di dalam daily jokes kita sehari-hari.
Ya, terkadang kita lupa atau tidak menyadari bahwa penggunaan kata 'Autis' itu bisa berubah menjadi sebuah makna negatif yang dapat menyinggung perasaan sejumlah pihak. Penulis mulai merasakan kejanggalan kata itu ketika penulis berkunjung ke kos-kosan seorang teman. Ketika mengagumi salah satu prakarya beliau (catatan: berbentuk bintang-bintang kecil yang terbuat dari kertas warna-warni), dia kemudian menjawab: "Ah, itu sih kerjaan gue pas lagi autis aja hel".
Belakangan, penggunaan istilah yang mengganggu itu terus menerus penulis dengar dalam percakapan sehari-hari. Ketika demam BlackBerry melanda sejumlah khalayak di mall se-Bandung Raya. Kita dengan mudah menggunakan kalimat seperti: "Aduh, autis banget ya kalo punya BB". Ketika salah satu teman kita menggumam sendiri ketika sedang mendengarkan musik, kita berkomentar: "Aduh, autis banget sih ini anak."
Padahal, Autisme bukanlah sebuah keadaan yang pantas untuk dijadikan bahan lelucon sehari-hari. Sebagai seseorang yang memiliki sepupu yang menderita penyakit tersebut, penulis rasa sudah saatnya kita mulai mengeliminasi penggunaan kata-kata tersebut di dalam keseharian kita. Masih banyak kata-kata lain yang rasanya lebih pantas ketimbang menggunakan kata yang hanya akan menyakiti perasaan sejumlah pihak.
Ya, mungkin terkadang kita tidak menyadari bahwa ada beberapa kata-kata yang sebetulnya menyangkut isu sensitif. Misalnya, istilah 'Kanker' yang menjadi bahasa keseharian untuk abreviasi 'Kantong Kering'. Bayangkan perasaan orang yang mengidap atau memiliki kenalan yang juga mengidap penyakit tersebut. Memiliki ayah seorang Oncologist membuat penulis juga kurang menyukai istilah itu.
Memang, sebagai manusia yang memiliki kemampuan untuk berpikiran obyektif kita seharusnya bisa menyaring mana kata-kata yang memang dijadikan sebuah lelucon atau serius. Sayangnya, kita sebagai manusia kadang lebih memilih untuk menyederhanakan masalah untuk diri kita sendiri tanpa menyadari bahwa kata-kata yang diluncurkan dapat menyakiti perasaan yang lain.
Yang jelas, catatan kecil ini juga akan menjadi sebuah input untuk diri penulis untuk lebih welas asih dan berhati-hati dalam bertutur kata. Ada kalanya sebuah obyektifitas bukan hanya dijalankan oleh mereka yang menerima informasi namun juga mereka yang memberikan informasi.
Godspeed,
Amahl S. Azwar
Juli 2009