Senin, 09 November 2009

Kacamata




Syahdan, sebuah toko buku kecil di sudut Siliwangi ada satu sosok yang duduk di sofa mungil. Pandangan sosok itu menerawang. Dia membetulkan letak kacamatanya sambil menggaruk-garuk belahan bibir. Setelah beberapa saat, dia memutuskan untuk melepas kacamatanya itu. Dipandanginya bentangan pohon-pohon yang dapat terlihat dari jendela di balik sofa. Semua daun di pohon tersebut nampak buram. Seolah berada di dalam bidikan lensa kamera DSLR Canon yang tidak fokus.

Apabila ada sebelum, ada pula sesudah. Kini dia kembali memasang kacamatanya itu. Dipejamkannya mata sejenak untuk kemudian melihat bentangan pohon-pohon yang sama dari jendela di balik sofa. Dia merasakan sensasi perubahan. Sekarang pohon-pohon itu memiliki daun yang begitu hijau dan terang. Sensasi nikmat yang dirasakannya setelah memakai kacamata begitu terasa.

Tangannya kini meraih benda mungil di atas peti meja kayu. Jemarinya menari memencet tombol-tombol mengetikkan sesuatu. Sesuatu untuk dikirimkan ke dalam ponsel seseorang di salah satu sudut Kota Jakarta.

Dia menulis: "Apabila mencintai seseorang dapat diibaratkan dengan memakai kacamata. Then, you are my glasses. With you, the trees looks brighter. With you, the leaves looks greener. And my eyes feels so much better."

12 digit nomor pemilik ponsel itu diketik sudah. Satu tombol "OK"ditekan untuk mengirimkan surat elektronik itu teriring ucapan Godspeed. Sementara orang menunggu dengan cemas apakah surat itu akan mendapatkan balasan, Dia memilih untuk tersenyum.

Dia telah belajar untuk melepaskan. Mencintai cinta itu sendiri tanpa rasa takut yang berakar dari rasa ego. Dikembalikannya benda mungil itu pada letaknya semula. Adalah secangkir cokelat hitam putih dengan Yin Yang Chocolate yang diseruputnya sambil memandang pohon-pohon dari jendela di balik sofa. Dia merasa sejuk: jiwa, raga dan fikiran. Dia tersenyum. Memamerkan giginya yang teroleskan selaput cokelat hitam putih.

Sabtu, 31 Oktober 2009

Kuda Catur




Saya terkadang memiliki satu kebiasaan untuk mengamati hal-hal yang unik dan berbeda dengan hal-hal pada umumnya. Hal-hal yang memiliki ciri khas dan mampu menerobos hal-hal yang belum tentu bisa dilakukan hal-hal lain. Salah satu contoh akan hal tersebut salah satunya saya temukan dalam permainan favorit saya ketika masih kecil dulu: Catur. Ya, Catur menjadi permainan menarik bagi saya dan kedua sepupu saya pada saat itu. Padahal, ketika kami menginjak bangku SD, permainan catur seharusnya diganti dengan permainan video game seperti Playstation, Nintendo dsb.


Layaknya fans sebuah cabang olahraga yang memiliki seorang olahragawan idola, pastinya kami memiliki bidak-bidak catur yang menjadi favorit. Sepupu-sepupu saya selalu memilih Ratu sebagai bidak catur favorit-nya. Mungkin karena superioritasnya sebagai bidak catur yang paling kuat. Kendati demikian, bidak catur yang selalu menjadi favorit saya berbeda dengan mereka: The Knight-Kuda. Mengapa demikian?

Kuda tidak seperti Ratu (atau yang kerap disebut Perdana Menteri) yang memiliki jangkauan seolah tidak terbatas. Ratu dapat bergerak baik secara horisontal, vertikal maupun diagonal. Kuda hanya bisa berjalan membentuk huruf "L". Namun, justru langkah Kuda tersebut yang menjadikannya unik dan lain daripada yang lain.





Kuda juga memiliki satu kelebihan yang tidak dimiliki oleh bidak-bidak catur lain, bahkan Ratu. Kuda memiliki kemampuan untuk "meloncat". Ya, "meloncat". Gerakan Kuda Catur sangat flexibel dan berbeda dengan bidak catur lain yang harus "memakan" bidak catur lain yang menghalangi jalan mereka. Hal inilah yang membuat keberadaan Kuda Catur begitu diandalkan di dalam permainan catur itu sendiri. Kuda Catur bisa menembus barikade yang belum tentu bisa dilewati oleh punggawa-punggawa catur lainnya.

Saya mengagumi konsep Kuda Catur di dalam permainan catur itu tersendiri. Seolah keterbatasan yang sekian diimbangi pula dengan kelebihan yang sepadan. Seperti kuda catur, ada banyak hal yang berbeda dan unik di dalam cerita kehidupan. Itulah indahnya hidup. Individu belajar untuk bisa menjadi spesial, sama spesialnya seperti
kuda Catur.

Kuda Catur, teruslah "meloncat"! :)

Sabtu, 24 Oktober 2009

Selamat Ulang Tahun




Dear 15 Years old Mahel
at
SMU Taruna Bakti, kelas 1 A, baris pertama, deret kedua.

Hi Mahel! Ya, ini aku, masa depan kamu. Aku adalah diri kamu dalam kurun waktu tujuh tahun dari sekarang. Pada saat surat ini sampai di tangan kamu, kamu sedang berulang tahun yang ke 15 tahun. Jadi, apabila perhitungan kalender aku tidak salah, maka tanggal di waktu-mu adalah 9 Oktober 2002. Jangan kamu pertanyakan dulu mengenai apa alasan surat ini bisa sampai di tangan kamu. Setidaknya berikanlah aku kesempatan untuk memberikan kado ulang tahun yang lebih berharga dari sekedar ucapan "Selamat Ulang Tahun."


Karena kita lebih dekat dari yang engkau tahu, maka izinkanlah aku untuk memanggilmu dengan nama kecil kita berdua "Amal". Amal, hidup itu indah. Aku ingat dan mengerti dengan sangat bahwa ketika kamu membaca surat ini ada satu penyangkalan terhadap pernyataanku barusan. Aku tahu bahwa pilihan kamu untuk bersekolah di tempat itu tampak seperti sebuah kesalahan. Namun, tenanglah. Percayalah bahwa hidup itu indah. Akan ada saat di dalam kehidupan kamu di Taruna Bakti dimana akan kamu sadari bahwa pilihan kamu tidak salah.

Amal, aku tahu bahwa hidup kamu terkesan menyedihkan pada saat kamu membaca surat ini. Namun, ingatlah: kamu harus meneruskan langkah kamu disana. Remember, you have a one of a kind life and you must live that life to the fullest. Aku harus berhenti bercerita sekarang. Kamu masih ingat kan, peraturan para penyihir yang paling utama: "Kita tidak boleh mengubah masa lalu!"

Kendati demikian, aku mengambil resiko mengirim surat ini melalui pintu dimensi waktu yang dijaga oleh Pluto untuk meyakinkanmu bahwa semuanya akan baik-baik saja. Aku harap kamu akan mengerti maksud dan tujuan dari surat ini. Kamu sekarang aku beri waktu selama 15 menit untuk bersedih hati dan menangisi kepedihan hidupmu di hari ulang tahun mu yang ke-15. Setelah itu? Lanjutkan hidupmu. :)


Selamat ulang tahun!
Amahl S. Azwar, 22 years old.

Selasa, 18 Agustus 2009

In Which The Deep Heart Equals The Deep Ocean

Recently, there are some things that keep going through my mind: it's about the strength of our heart to carry on everyday things in our life. Yes, heart is stronger than we thought it could be. However, sometimes we find it hard to keep going through the problems in our life. A good friend of mine Ras Hanaria told me once that the heart of a man or woman is very deep that it equals the deep ocean. It means that whenever we feel bad about something, we should just let it drown towards the deepness of our heart; and then, proceed.

Dear fellows, sometimes it very hard to face things that happen in your life. My friend Ben C. Laksana has written about all this in his latest notes that human has choices towards that life. I couldn't agree more with that statement. Basically, every person in this world has options to do towards their life. We had every excuse in this life to make it worth going to; in every daily basis. It's just a matter of time and our courage to believe that our heart is not just strong but it also deep and knows no boundaries.

Forgive and forget, that is the so-called two 'F's that strengthen my statement about the deep heart equals the deep ocean. But the main part of this statement is before we are going to forgive and forget someone else towards their mistakes to us: we must forgive ourselves first. We must remember that we can't please everyone. We must remember that every person has their own flaws. Moreover, even though details are very important, we should always look at the big picture about ourselves. This is why I don't believe in the so-called proverb: "Nila setitik, rusak susu sebelangga". Humans are subject to flaws and all--which is something that human is the most perfect creature of God.

The deep heart equals the deep ocean. Just believe in your heart no matter what you are going to. Whenever something or someone did you wrong: put them into the deepest land below your deep heart. If you feel like you're going to be sat in misery about how they did you wrong, do it. And then? Proceed. I really hope that everybody who read this article may found peace in whatever struggling thing that they have on their life at the moment. My thoughts are with you all.



Proceed,
Amahl S. Azwar
18 Agustus 2009


PS: Dedicated to Yane Yulianne and Ras Hanaria.

Kamis, 09 Juli 2009

In Which Mahel Raised An Objection Towards 'Autism' as a phrase in daily jokes

Seyogyanya bahan pembicaraan di dalam artikel ini bukanlah sesuatu hal yang baru. Penulis bahkan baru tersentil untuk mengangkat topik ini setelah secara kebetulan membaca dua artikel di situs http://sillystupidlife.com/2009/04/01/time-to-speak-out/ dan http://the-tao-of-marcell.blogspot.com/2009/04/mohon-maaf.html--hasil blog walking Penulis. Intinya, kedua artikel tersebut mengungkapkan keberatan mereka terhadap penggunaan kata 'Autis' di dalam daily jokes kita sehari-hari.

Ya, terkadang kita lupa atau tidak menyadari bahwa penggunaan kata 'Autis' itu bisa berubah menjadi sebuah makna negatif yang dapat menyinggung perasaan sejumlah pihak. Penulis mulai merasakan kejanggalan kata itu ketika penulis berkunjung ke kos-kosan seorang teman. Ketika mengagumi salah satu prakarya beliau (catatan: berbentuk bintang-bintang kecil yang terbuat dari kertas warna-warni), dia kemudian menjawab: "Ah, itu sih kerjaan gue pas lagi autis aja hel".

Belakangan, penggunaan istilah yang mengganggu itu terus menerus penulis dengar dalam percakapan sehari-hari. Ketika demam BlackBerry melanda sejumlah khalayak di mall se-Bandung Raya. Kita dengan mudah menggunakan kalimat seperti: "Aduh, autis banget ya kalo punya BB". Ketika salah satu teman kita menggumam sendiri ketika sedang mendengarkan musik, kita berkomentar: "Aduh, autis banget sih ini anak."

Padahal, Autisme bukanlah sebuah keadaan yang pantas untuk dijadikan bahan lelucon sehari-hari. Sebagai seseorang yang memiliki sepupu yang menderita penyakit tersebut, penulis rasa sudah saatnya kita mulai mengeliminasi penggunaan kata-kata tersebut di dalam keseharian kita. Masih banyak kata-kata lain yang rasanya lebih pantas ketimbang menggunakan kata yang hanya akan menyakiti perasaan sejumlah pihak.

Ya, mungkin terkadang kita tidak menyadari bahwa ada beberapa kata-kata yang sebetulnya menyangkut isu sensitif. Misalnya, istilah 'Kanker' yang menjadi bahasa keseharian untuk abreviasi 'Kantong Kering'. Bayangkan perasaan orang yang mengidap atau memiliki kenalan yang juga mengidap penyakit tersebut. Memiliki ayah seorang Oncologist membuat penulis juga kurang menyukai istilah itu.

Memang, sebagai manusia yang memiliki kemampuan untuk berpikiran obyektif kita seharusnya bisa menyaring mana kata-kata yang memang dijadikan sebuah lelucon atau serius. Sayangnya, kita sebagai manusia kadang lebih memilih untuk menyederhanakan masalah untuk diri kita sendiri tanpa menyadari bahwa kata-kata yang diluncurkan dapat menyakiti perasaan yang lain.

Yang jelas, catatan kecil ini juga akan menjadi sebuah input untuk diri penulis untuk lebih welas asih dan berhati-hati dalam bertutur kata. Ada kalanya sebuah obyektifitas bukan hanya dijalankan oleh mereka yang menerima informasi namun juga mereka yang memberikan informasi.


Godspeed,
Amahl S. Azwar
Juli 2009

Minggu, 28 Juni 2009

In Which We Meets Mahel, Someone Who Recently Failed

“Arthur Abbott: Iris, in the movies we have leading ladies and we have the best friend. You, I can tell, are a leading lady, but for some reason you are behaving like the best friend.
Iris: You're so right. You're supposed to be the leading lady of your own life, for god's sake! Arthur, I've been going to a therapist for three years, and she's never explained things to me that well. That was brilliant. Brutal, but brilliant.”


In case some of you don’t get it, that was a quotation from one of my favourite movie: The Holiday. The scene told us when the character Iris (played by Kate Winslet) were taught by Arthur Abbott (Eli Wallach), an elderly man, that she was supposed to be in control of her own life instead of hiding underneath someone’s shadows. The quotation came to my mind after I just finished reading the so-called book “He’s Just Not That into You” written by Greg Behrendt and Liz Tuccillo.

The book encourages the ladies out there to stop being so insecure whenever they lose their man: because maybe he’s just not that into you. Therefore, you need to take charge on your own life. See, at one of the pages Greg confess that he initially wanted to write a book entitled “She’s Just Not That into You” only to realize that it wouldn’t sell million copies. Well, that’s another story. Nevertheless, it showcases that the book could be apply on man and woman. Moreover, it’s not just about one the relationship: it also covers the rest of the so-called failure in your life.

Lately, there’s some sad news that I have to encounter: the last result of my thesis (I graduated, though), the resignation of my dear friend at the Coffee Shop etc. But reading the book and really analyze the hidden message behind it and concluded by the quotation I put above … made me realize that you are supposed to be the leading actors/actresses in your own life. About the last result of my thesis, it came to me that I should just shake it off and move on with the next steps of my life (Hey, I got too many A’s in the past. Some B’s won’t killed me). The resignation of my dear friend ought to push him in order to become the better person (He still lives in Bandung anyway, it’s not like someone written him out of the script).
Sometimes we got it the wrong way. When things don’t turn out the way we want it to be, we tends to blame others. When we fail, we thought that we are a failure. The fact is ‘failure situation’ only took two or three episodes from the entire series that God (only the best scriptwriter ever) written for us. My point is? Live life, love life.

XOXO

“Claire Colburn: So you failed. Alright you really failed. You failed. You failed. You failed. You failed. You failed. You failed. You failed. You failed. You failed. You failed. You failed. You failed. You think I care about that? I do understand. You wanna be really great? Then have the courage to fail big and stick around. Make them wonder why you're still smiling.”

PS: This article is the first one for another blog of mine www.mcmahel.blogspot.com which basically more relaxed and not-so-political like the previous one www.amahlazwar.wordpress.com. Enjoy!