Minggu, 11 Desember 2011

The ‘Good’ in Good-bye

Pada Sabtu, 10 Desember 2011, sekitar pukul 23.00 WIB, jemari saya menggunggah berita mengenai keberhasilan Komisi Pemberantasan Korupsi memulangkan tersangka kasus suap, Nunun Nurbaetie dari Bangkok, Thailand. Selesai sudah, pengabdian saya kepada koran nasional Media Indonesia selama lebih dari 1,5 tahun. Setelah melepas stres sebentar di ruang wartawan, gedung lembaga antisuap itu, saya kembali ke kosan saya di sekitar Kemanggisan, Jakarta Barat untuk bersiap-siap pulang ke Bandung, ke rumah orang tua.

Betul, kepulangan Nunun ini memang terasa spesial bagi saya pribadi. Diboyongnya istri mantan Wakil Kapolri Adang Daradjatun itu sekaligus menjadi naskah terakhir saya bagi koran tempat saya pertama kali berkarier sebagai wartawan itu. Beberapa rekan di lapangan yang tahu bahwa hari itu menjadi hari terakhir saya di KPK mengucapkan selamat jalan dan sampai jumpa. Saya tersenyum simpul mendengar itu semua.

Saya memulai perjalanan bersama Media Indonesia per 1 Maret 2010 di bawah didikan wartawan Yohannes Widada. Bersama rekan angkatan satu-satunya, Anata Syah Fitri Siregar saya digembleng oleh bapak satu itu. Belum juga dua pekan kami berdua belajar membelah Jakarta, aksi aparat melumpuhkan teroris terjadi di daerah Pamulang. Pamulang pula yang menjadi awal mula tulisan saya dan Nata, sapaan akrab Anata, mulai menghiasi koran di halaman Megapolitan.

Penempatan pos alias kompartemen akhirnya terjadi pada 15 Maret 2010. Saya ditempatkan di meja Internasional sesuai dengan program studi dulu dan Nata dengan kegigihannya yang terbaca sejak awal menjadi prajurit Megapolitan. Pada titik ini kami menjadi jarang bertemu karena dia ditempatkan nun jauh di Tanjung Priok sana sementara saya ngendon di kantor.

Berada di kompartemen Internasional sebenarnya memiliki cerita tersendiri—kami memang jarang sekali berada di lapangan. Tetapi pada saat saya berada di pos ini, nasib beberapa WNI kita yang menjadi sukarelawan untuk masyarakat di Gaza di ujung tanduk setelah serangan tidak bermoral pasukan Israel. Tergerak, meski hanya mengandalkan sambungan internasional, saya berusaha mengecek keadaan mereka. Salah satunya berhasil saya hubungi (Nurfitri Taher) lewat teknologi Facebook serta rekan penulis saya yang kenal dengan keluarga beliau.

Sambungan internasional juga yang membawa saya menghubungi seorang relawan yang tergolek di rumah sakit Turki. Susah-susah gampang sebetulnya, meski nomor RS Turki itu bisa didapat dari KBRI kita tetapi butuh kesabaran untuk berbicara dengan bagian humas yang tidak bisa berbahasa Inggris. Kata-kata “Indonesia, Flotilla, Patient,” saya ulang terus menerus hingga ia mengerti maksud saya. Syukurlah, ada wartawan senior Desi Anwar yang waktu itu bertugas meliput dan dia juga yang membantu saya untuk mewawancarai si relawan.

Setelah empat bulan, surat penugasan membawa saya memasuki satu pos yang menjadi momok bagi wartawan-wartawan baru di koran ini: Polkam. Bertugas di halaman politik memang butuh ketelatenan dan fisik yang luar biasa. Tidak heran bahwa masuk rumah sakit minimal satu kali sepertinya biasa saja bagi mereka yang pernah bertugas di rubrik Polkam. Akan tetapi, rubrik ini juga yang menggembleng kami untuk menjadi wartawan tangguh dan bekerja cerdas.

Pesan yang saya ingat terus oleh atasan saya di desk ini adalah masalah tulisan supaya lebih to the point. Desk ini juga yang mengajarkan kepada kami untuk menembus narasumber dan mengajarkan banyak sekali dinamika politik di tanah air.

Beberapa bulan setelah itu, surat penugasan kembali mengantarkan saya ke sebuah pengalaman yang sama sekali berbeda: Ekonomi. Terkesan santai, sebetulnya desk ini yang mengajarkan saya mengenai pentingnya data dan grafis. Memang, berada di pos Polkam saya kadang terlena untuk terus menggunakan ‘jurnalisme congor’ mengingat perang wacana memang lebih sering mewarnai tulisan politik. Ditempatkan di bagian Energi, meski saya sering megap-megap karena tidak mengerti, pelan-pelan saya mulai belajar untuk lebih fokus kepada angka.

Saya ingat sekali dua pesan atasan saya waktu itu yang kini menjadi salah satu petinggi. Pertama, jangan hanya terpaku pada angka-angka tetapi juga mesti dibahasakan. Misalnya, jangan tulis ‘Bandung terancam kehilangan 5.000 MW’tetapi tuliskan berapa banyak rumah yang terancam kehilangan listrik. Pelajaran kedua dari beliau, jangan pernah takut untuk bertanya dan bertanya kepada narasumber.

“Mahel, ingat, kamu itu wartawan. Kamu itu dibayar untuk bertanya. Kamu bukan dibayar untuk menjadi pakar,” begitu kira-kira kata atasan saya.

Setelah beberapa bulan mengawal isu listrik dan pembatasan Bahan Bakar Bersubsidi yang sampai sekarang (sampai saya mengundurkan diri) tidak juga jelas bagaimana bentuknya saya dikembalikan ke pos Internasional. Meski seorang diri, saya sangat senang karena ada redaktur yang baru saja kembali studi yang punya passion begitu besar akan isu-isu Internasional. Sehingga, pekerjaan saya terasa lebih menantang sekaligus ringan.

Selama hampir dua puluh hari kerja, saya dicekoki isu perompakan kapal MV Sinar Kudus. Sumber saya menghubungkan saya dengan nomor kapten kapal yang… pada suatu hari diangkat oleh perompaknya sendiri. Kaget, saya dengan terbata-bata berusaha menanyakan keadaan para sandera dan ia malah mengancam akan membunuh mereka kalau uang tebusan tidak kunjung tiba. Redaktur saya mengusulkan naskah itu ke rapat redaksi dan akhirnya masuk ke halaman pertama. Kontribusi ini begitu saya ingat karena menandai betapa desk ini sebetulnya bisa ‘bersuara’.

Pada hari ke-21, surat penugasan mengembalikan saya ke desk Polkam. Pergeseran ini juga yang membawa saya untuk bertugas di gedung KPK. Walau belum banyak kontribusi saya, saya cukup bersyukur karena penempatan ini bersamaan dengan tingginya intensitas pemberitaan di kantor lembaga ad hoc itu. Meski demikian, KPK sekaligus juga menjadi tempat liputan terakhir saya karena beberapa bulan setelahnya, saya memilih mengundurkan diri.

Setelah hampir satu setengah tahun, saya akhirnya lulus duluan dari semua wartawan MI yang masuk pada tahun 2010. Surat pengunduran diri sudah dilayangkan dan yang paling berat adalah meninggalkan zona nyaman saya di Kedoya. Tetapi, sesekali kita mesti berani menentang daya gravitasi itu, kan?

Saya mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada rekan-rekan seperjuangan khususnya untuk Polkam, Ekonomi, dan Internasional yang menjadi tempat saya bernaung. Tempat ini membangun fondasi pertama saya untuk menjadi wartawan yang lebih baik. Juga tempat saya bertemu dengan para penggila karaoke yang menjadi pelepas stres sebagian wartawan (Yay!).

Thank God, I found the ‘good’ in goodbye

Minggu, 09 Oktober 2011

KPK di Atas Angin atau Angin-anginan? (SOROT, Media Indonesia)

CUKUP satu kali rapat konsultasi bersama Dewan Perwakilan Rakyat untuk membuat publik bercuap-cuap demi membela Komisi Pemberantasan Korupsi. Pernyataan beraroma anti-KPK dari Ketua Komisi III Benny Kabur Harman dan Wakil Ketua Komisi III DPR Fahri Hamzah membuat pendulum kini bergeser mengkritisi para politikus Senayan.

Semboyan ‘corruptors fight back’ didengungkan unsur pimpinan komisi antisuap itu berikut deretan simpatisannya, mulai dari pensiunan militer hingga LSM-LSM. Cerita kriminalisasi terhadap anasir lembaga ad hoc memang bukan barang baru. Masyarakat tentu masih ingat bagaimana mantan Ketua KPK Antasari Azhar terjerat kasus pembunuhan pengusaha Nasrudin Zulkarnaen atau kasus dugaan penerimaan suap oleh Komisioner KPK Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto yang berakhir pada pendeponiran.

Pada klarifikasi yang digelar di kantor KPK di daerah Kuningan, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu, Chandra yang lagi-lagi dituding menerima suap kali ini oleh bekas bendahara umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin sempat mengulang-ulang ‘kisah kriminalisasi’ yang membuat dirinya ditahan beberapa hari.

Maka, ketika ada suara sumbang dari kompleks DPR terhadap KPK, sudah barang tentu para ‘fan’ menjadi ribut. Akun jejaring sosial Twitter milik Fahri Hamzah sampai penuh celotehan mereka yang antipati terhadap politikus Partai Keadilan Sejahtera itu atas wacana pembubaran KPK yang ia lontarkan.

KPK bisa dikatakan berada ‘di atas angin’ mengingat banjirnya simpati publik terhadap mereka. Sampai-sampai beberapa praktisi hukum yang pernah ikut dalam Tim Pembela Bibit-Chandra (TPBC) melakukan reuni dan membentuk tim advokasi dan pembela KPK.

Kini sorotan seolah bergeser pada banyaknya suara yang menolak pembubaran terhadap lembaga antikorupsi tersebut. Padahal, masih banyak kasus-kasus besar yang sudah seyogianya mulai dikebut penuntasannya. Sebut saja kasus cek pelawat dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia 2004 Miranda Goeltom. Di mana keberadaan Nunun Nurbaeti selaku tersangka dalam kasus tersebut?

Lalu, apa kabar pula penuntasan kasus Wisma Atlet dengan Nazaruddin sebagai tersangka? Terlepas dari banyaknya manuver dari kuasa hukum si mantan anggota DPR, apa itu menjadi alasan bagi KPK untuk melupakan tugasnya? Belum lagi kasus dugaan suap dalam proyek infrastruktur kawasan transmigrasi di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, atau kasus dugaan korupsi pengadaan pembangkit listrik tenaga surya dengan si tersangka, Neneng Sri Wahyuni, yang tak lain istri dari Nazaruddin, masih menjadi buron Interpol di 188 negara.

Sudah saatnya Busyro Muqoddas dkk berhenti playing victim alias menempatkan diri sebagai korban atas seluruh tudingan yang dilayangkan kepada kantor di Jalan HR Rasuna Said tersebut. Jihad melawan korupsi yang memiskinkan rakyat sudah pasti berliku dan penuh kerikil tajam. Tetapi, kalau sedikit-sedikit mengeluh atau merasa dikriminalisasi, kapan me reka bekerja?

Jangan mentang-mentang publik tengah menaruh KPK di atas angin, lalu Busyro dkk jadi angin-anginan. Jika itu yang terjadi, namanya KPK ‘masuk angin’.

(Amahl S Azwar)

Terbit di rubrik SOROT, harian Media Indonesia, Senin, 10 Oktober 2011

Minggu, 25 September 2011

Dongeng- a short story

BEHA hitam dan kamar hotel murahan.
Sesosok perempuan beranjak dari ranjang berantakan. Kuku-kuku dilukisi warna gelap membetulkan letak beha di dada. Mala, nama si pedusi, menyalakan sebatang rokok dan menenggak sebotol alkohol. Rambut jatuh menutupi punggung kemudian ia gelung ke atas.
“Aku suka tatomu,” ujar pria telanjang yang tidur terlentang di kasur.
Mata Mala melirik huruf-huruf latin di lengannya kemudian berputar. Seolah pujian itu sudah terlalu sering ia dengar.
“Apa artinya?”
“Percayalah, kau tidak mau tahu. Faktanya, tidak pernah ada yang tahu kecuali si pembuat tato.”
Pria kaukasian itu berdiri, masih dalam keadaan telanjang, lalu mendekatkan mukanya ke wajah Mala. Kedua lengan penuh urat-urat otot itu merengkuh punggung Mala nan mulus.
“Mau coba pecahkan rekor?”
Mala tergelak dan tersedak alkohol.
Si pria kaukasian ia temukan menggelandang di sebuah rumah disko robotik. Sam, Smith, atau siapalah namanya. Si pria mengklaim telah meniduri seluruh wanita pendatang di tempat remang-remang itu. Seraya meletakkan pahanya di atas celana jins si pria, Mala berbisik menantang.
“Mau coba pecahkan rekor?”
Sejatinya, Mala hanya memandang si pria kaukasian bak anjing tersesat. Di lain pihak, Mala ini penyuka anjing. Termasuk gaya anjing yang menjadi penyebab si kasur porak poranda.
“Untuk ukuran wanita Indonesia, Mala, kau terlalu banyak minum.”
“Alkohol memang tidak baik untuk kesehatan. Akan tetapi, mary jane alias ganja dapat membuat tubuh terasa enak. Jadi begitulah, ganja di kala sakit dan alkohol saat bugar.”
“Aw, aku yakin kau sangat bugar tadi.”
Si pria kaukasian berdiri. Serentak kedua bibir itu berpagutan.
“Sekadar penasaran. Kenapa beha hitam?”
“Banyak hal yang bisa kau pelajari dari apa yang perempuan kenakan dan lepaskan.”
“Dan untuk siapa mereka lepaskan baju itu?”
“Betul,” timpal Mala.
“Ada jejak rasa vodka dan tembakau di lidahmu, aku suka,” timpal pria kaukasian dengan lidah masih di rongga mulut Mala.
“Kau suka?”
“Sangat.”
“Kau melupakan satu rasa.”
“Apa?”
“Sesuatu yang tadi kau minta telan.”
Bibir si pria kaukasian membentuk seringai.
“Kau memang spesial, Mala.”
Kata-kata itu membuat Mala kembali berlutut di lantai kamar. Seringai si pria kaukasian melebar seiring terbukanya labium Mala yang mendekati selangkangannya. Bak prajurit Sparta menang perang, si pria kaukasian mengangkat kedua tangannya. Superior.
Seperti Putri Tidur yang terbangun setelah dicium orang asing, Mala selalu merasa hidup dengan meniduri berbagai jenis pria yang baru ia temui.
Kau hanya satu di antara mereka, Sayang.

***

Beberapa menit menjelang Matahari mendatangi ufuk timur.
Sepasang sepatu hak tinggi melangkah diam-diam memasuki teras rumah. Perlahan, tangan Mala mendorong pintu kayu jati. Lamat-lamat kedua matanya menangkap Bunda yang tengah duduk bertopang dagu di ruang depan. Satu piring penuh bekas kulit apel tergeletak di meja.
“Mala,” cetus Bunda memulai pembicaraan. “Lihat, sekarang sudah jam berapa? Perempuan baik-baik tidak ada yang baru pulang jam segini.”
Aku penasaran apakah sepuluh tahun lalu Bunda berpikiran sama.
Mala merapatkan jaket kulitnya dan bertolak ke kamar. Bunda beranjak dari tempat duduknya dan menghambur ke putri semata wayangnya itu.
“Mala, dengarkan Bunda!”
“Sudahlah, Bu!” tukas Mala beringsut dari hadapan Bunda. “Begini saja, sekarang apa bedanya aku dengan dongeng Upik Abu yang dulu sering Bunda bacakan?”
Tangan Bunda sudah terangkat tetapi kemudian ia turunkan kembali. Ingatan Mala kembali pada sekelumit kisah Upik Abu yang keluar tengah malam demi mengejar impiannya.
Cinderella sudah berjanji akan pulang sebelum tengah malam. Namun, ia tetap bersikukuh tinggal di pesta dansa hingga satu per satu keajaiban Ibu Peri memudar.
“Sana, masuk kamar!” dentuman suara Bunda mengembalikan Mala ke bumi.
“Dengan senang hati.”

***

Akhir bulan.
Mala mengendap-endap masuk ke kamar Bunda. Jari jemarinya ia jentikkan sebelum menarik pegangan pintu lemari. Tepat saja, sebuah peti kayu yang terbuka sedikit ada di laci tengah. Karuan saja hati Mala bersorak-sorai. Sebuah solusi untuk melunasi hutang-hutangnya ia temukan.
Ketemu, pekik Mala dalam hati.
“Mala!” pekik Bunda di belakang Mala.
Mala terkaget, semenit lalu perempuan setengah baya itu masih tertidur pulas.
Dasar Pinokio, hardik Mala dalam hati.
Tenaga Bunda tiba-tiba luar biasa. Pundak Mala yang sepuluh senti lebih tinggi ia tarik dan hempaskan ke ranjang. Putri semata wayangnya satu itu.
“Mala! Apa-apaan ini?”
Bunda menutup lagi peti kecil berisikan kalung, cincin, dan giwang emas.
“Mala, ini tidak benar. Bunda tidak menyangka kamu sampai hati mencuri perhiasan ini.”
“Bunda ini hipokrit!”
Kulit tangan berbenturan dengan pelipis rasanya tidak enak.
“Bunda ini kenapa, sih?” gerung Mala mengusap-usap bekas tamparan sang Ibu.
“Bukankah dongeng Robin Hood yang dulu sering Bunda bacakan memperlihatkan bahwa mencuri itu tidak apa-apa?”
“Itu beda, Mala! Robin Hood itu mencuri untuk memberikannya kepada mereka yang membutuhkan!”
“Aku orang yang membutuhkan, Bunda!”
Mala mengibaskan rambutnya dan meninggalkan kamar Bunda. Bunda mengawasi seksama tatkala punggung mulus si anak menjauh.
Dan Robin Hood menyerahkan uang hasil curian dari Raja Tamak kepada fakir miskin.

***
Kali ini, botol alkohol ditenggak Mala di meja makan. Ia duduk berhadap-hadapan dengan Bunda. Mereka baru saja menghabiskan potongan-potongan apel yang Mala tidak suka sebelum Bunda mendeham.
“Ada apa lagi, Bunda?”
Mala melengos.
“Bunda ingin kamu jujur, Mala.”
“Tentang apa?”
Bunda mengangkat sebuah kemasan alat kontrasepsi dan melemparnya tepat ke sebelah piring apel.
“Kenapa bisa ada benda ini di kamar kamu? Siapa yang kamu ajak tidur di kamar?”
“Bukan urusan, Bunda!”
“Mala, kau tidak boleh berbohong. Itu dosa."
Maya memutar matanya.
"Tenang, Bu. Aku hanya mencontoh dongeng Pinokio. Buku yang dulu sering Ibu bacakan? Dia kan tukang bohong."
Bunda hanya bisa mengusap-usap dada.
Hidung Pinokio selalu memanjang setiap ia berbohong.

***

Ibarat biji kopi yang mulai ranum, Mala mulai meramu balon-balon pikirannya. Otak Mala tengah mem-brew memori di pikirannya. Sembari mengisap rokok mentholatum, satu persatu balon pikiran Mala pecah dan ia pun memutar lagi cerita masa kecilnya.
Bagaimana ia mendengar suara sang Ayah memaki-maki Bunda yang selalu keluyuran tengah malam.
Bagaimana sang Ayah mendamprat habis Bunda yang ketahuan menyelundupkan kartu kreditnya dan membeli perhiasan-perhiasan mahal.
Suatu hari, mata Mala menangkap sosok gelap menikam punggung sang Ayah yang tengah terlelap. Si perampok, hanya itu identitas yang Mala tahu, mencumbu Bunda sebelum kabur di tengah kegelapan malam.
Di hadapan polisi, Bunda menampilkan penampilan ala teater dan bersumpah atas nama Bunda Maria dirinya tidak tahu apa-apa.
Tidak ada yang percaya pada bualan anak kecil, batin Mala kecil. Kisah Alice di Negeri Ajaib mengilustrasikan ini semua.
Mala pun hanya meringis ketika Bunda membacakan cerita-cerita dongeng tiap malam dan mencekokinya buah apel yang tidak pernah ia suka.


***

Suatu hari Mala kembali pulang dari diskotik lewat tengah malam. Begitu membuka pintu, terkejut Mala melihat sang Ibu tengah bercumbu di ruang tamu dengan tujuh pria sekaligus.
"Ibu? Apa-apaan ini?"
“Tenang, Mala. Apa bedanya pertunjukan ini dengan dongeng Snow White alias Putri Salju yang tinggal bersama tujuh pria sekaligus? Terima kasih, Mala, kau menginspirasi Bunda."
Mata Mala jatuh pada tangan-tangan pria yang mengusap-usap dada Bunda. Ia pun beringsut ke kamar dan tak memedulikan lenguhan lembu yang memenuhi ruang tamu. Diam-diam, ia mengeluarkan sesuatu dari tasnya dan menyambangi dapur.
Mala membuka kulkas dan menemukan potongan-potongan apel di rak nomor dua.
Dengan khidmat, Mala membubuhkan racun tikus ke tiap-tiap potongan apel.
Sudah lama aku tunggu momen ini, Bunda. Oh, jangan salah. Akan kupastikan akhir ceritamu berbeda jauh dengan Putri Salju. Karena, Bunda, meski tadi kau bilang tingkah kumpul kebomu ibarat dongeng itu, kau bukan Putri Salju.
Akan kupastikan tiada pangeran yang akan membangunkanmu nanti.
Senyum artifisial menghiasi wajah Mala yang memastikan hidangan apel itu ada di meja keesokan harinya.

Kebon Jeruk, Desember 2010

Diterbitkan di Majalah Esquire, edisi Februari 2011

Sabtu, 09 Juli 2011

Kala Sepupu Nunun Cari 'Suaka' ke Gedung Jasa Rahardja



(gambar diunduh dari VivaNews.com)


PADA Jumat (8/7) sekitar pukul tiga atau empat sore. Seorang perempuan berambut pendek, dengan kardigan merah jambu garis-garis putih dan rok hitam terlihat santai keluar dari ruang steril gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dengan muka datar, ia terlihat mengetik tuts di telepon genggamnya. Air muka Yane Yunarni Alex, perempuan itu, berubah pucat saat seorang juru foto mengenali dirinya sebagai sepupu Nunun Nurbaeti, tersangka kasus suap cek pelawat pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) pada 2004.

Perempuan yang juga menjabat sebagai Direktur Keuangan PT Wahana Esa Sembada (perusahaan yang dirintis Nunun) itu memang tengah diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Nunun dalam kasus cek pelawat. Dengan tinggi hanya sekitar 150 sentimeter, Yane berupaya meloloskan diri dari para wartawan tulis dan juru foto. Ia mengangkat tangan seolah berupaya menepis pertanyaan yang bertubi-tubi.

"Saya tidak tahu Ibu Nunun sekarang berada di mana. Nanti tanya Pak Adang (Wakapolri Komjen (Purn) Adang Daradjatun, suami Nunun) saja. Aduh, nanti saya jadi sakit," cetus Yane saat nyaris terantuk salah satu kamera televisi.

Menurut seorang petugas keamanan, Yane diperiksa sejak pukul 09.30 WIB. Yane kemudian keluar dari ruang steril gedung KPK sekitar pukul tiga atau empat sore. Kedatangan sepupu Nunun ini juga sempat tidak diketahui wartawan. Walau mendapat kabar dari Ina Rachman, kuasa hukum keluarga Nunun, tidak terlihat mobil berhenti di lobi gedung KPK yang mengantarkan Yane.

Kepada belasan wartawan yang menghalanginya, Yane kebanyakan bungkam atas pertanyaan. Ia hanya menanggapi tudingan politisi Partai Golkar, Fahmi Idris bahwa Nunun kabur ke luar negeri menggunakan paspornya. Tuduhan dari mantan menteri perindustrian itu dilontarkan pada 8 Juni lalu. Fahmi, saat itu, mengatakan kemiripan paras Yane dan Nunun menjadi dasar kecurigaannya.

Yane menegaskan tidak pernah sekalipun meminjamkan paspor kepada orang lain.

"Seumur hidup saya, tidak pernah sekalipun saya meminjamkan paspor untuk dipakai siapa pun," ucap Yane terengah-engah.

Lebih dari itu, Yane tidak banyak lagi berkomentar. Ia juga tidak memberikan informasi dimana keberadaan Nunun yang kini diburu interpol di 188 negara. Ia juga mengaku tidak pernah berkomunikasi lagi dengan Nunun yang sempat berobat ke Rumah Sakit Mount Elizabeth, Singapura pada Mei 2011 lalu.

"Dari kecil saya ketemu Ibu Nunun. Sudah, sudah, sudah, sudah. Enggak tahu saya kapan terakhir berkomunikasi. Pak Adang yang selalu berkomunikasi," ujar Yane yang berusaha berkelit menghindar saat dikejar sampai trotoar.

Yane terus dihadang wartawan hingga mencapai pelataran parkir gedung Jasa Raharja yang memang berada di sebelah gedung KPK. Ia pun bergegas kabur pintu depan gedung Jasa Raharja yang dijaga dua orang satpam. Seolah mencari suaka, Yane tanpa ba-bi-bu langsung ngacir ke dalam gedung sementara dua satpam pasang badan kepada pers.

Pada pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) yang berlangsung 2 Mei lalu, Sumarni selaku sekretaris Nunun mengaku pernah menjenguk Nunun yang tengah berobat di Singapura. Sumarni yang menjadi saksi terhadap lima orang tersangka cek pelawat dari Fraksi PDIP mengaku menjenguk Nunun yang tengah berobat di Singapura sekaligus mengantarkan obat-obatan untuk Nunun.

Menurut Sumarni, ia sesekali menanyakan kondisi kesehatan Nunun kepada Adang serta Yane, sepupu Nunun. Sumarni juga mengaku tahu informasi Nunun bolak-balik berobat ke Rumah Sakit Mount Elizabeth dari kedua orang tersebut

Seperti Nunun yang mencari 'suaka' dan kabur ke negeri orang mulai dari Singapura dan kini diduga ada di Thailand atau Kamboja, Yane juga menggunakan cara yang sama. Semoga saja level gedung Jasa Raharja ini tidak akan berlanjut ke level negara. Apalagi kalau tudingan peminjaman paspor itu terbukti benar adanya, semoga.

(SZ)

Sabtu, 16 April 2011

Mereka Bukan Bajak Laut Karibia



(foto diambil dari Reuters)


JANTUNG Kapten Slamet Juari berdegup kencang saat Kapal Sinar Kudus yang ia nakhodai melintasi Laut Arab, pada 16 Maret lalu. Seraya merapal doa, Slamet meneruskan pelayaran kapal yang mengangkut bijih nikel PT Aneka Tambang (Antam) menuju Rotterdam, Belanda
.
"Saya khawatir ketika melewati Teluk Aden. Ada Somalia di bawahnya, kami dengar banyak terjadi perompakan di situ," ujar Slamet yang dihubungi Media Indonesia melalui sambungan internasional, beberapa waktu lalu.

"Namun, sudah jalan masa kita mau balik," tutur suami Isyam Yuni Astuti ini.

Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Pukul 10.30 waktu setempat, saat kapal milik PT Samudera Indonesia itu berada 400 mil di atas Somalia, dua speedboat turun dari kapal ikan. Sadar akan bahaya yang mengancam, Slamet dan 19 anak buah kapal (ABK) WNI lainnya berupaya menghindar dan bergerak ke utara. Namun, kapal lainnya sudah menghadang laju Sinar Kudus. Berondongan AK-47 pun terus menghujam bagian dermaga kapal.

"Kayak di film-film saja. Hanya dalam waktu 5 atau 10 menit, empat orang di speedboat pertama naik ke kapal menggunakan tangga yang bisa dipanjangkan. Mereka minta agar kapal dihentikan dan kami pun menyerah.
Kami sudah mencoba, tetapi apa artinya melawan senjata otomatis."

Hari-hari penyanderaan bagi Slamet dan ABK lainnya pun dimulai. Awalnya, perlakuan kelompok perompak yang berjumlah 35 orang cukup ketat. Mereka dikumpulkan dalam satu base kapal. Waktu makan digilir dan ke kamar mandi pun diawasi. Kapal Sinar Kudus pun sempat dipakai kawanan pembajak untuk mencari mangsa lain. Mereka berputar-putar sampai ke Laut Arab sebelum akhirnya kembali ke perairan Somalia.

Lambat laun, hubungan baik perompak Somalia maupun kru kapal yang sesama muslim mulai melunak. Satu atau dua pembajak belakangan mulai ikut beribadah bersama WNI di Kapal Sinar Kudus. Salah seorang di antara mereka adalah Mohamed Salah, 38, pemimpin pembajak yang hanya memiliki tinggi 160 sentimeter. Slamet mengatakan Mohamed Salah yang keturunan Somalia-Yaman, tinggal di Arab Saudi, dan sempat menetap di Afghanistan cukup baik memperlakukan para ABK. Keadaan itu dimanfaatkan Slamet dengan memohon belas kasihan kepada para perompak.

"Saya dekati dia, menunjukkan kondisi perut saya yang sakit. Air dan makanan yang semakin menipis. Tolonglah dikurangi uang tebusan itu.
Kami tidak sanggup," tutur Slamet.

Perompak Somalia yang semula menuntut US$2,6 juta (sekitar Rp23 miliar) kemudian naik ke US$3,5 juta, melunak. Mereka menyetujui penurunan jumlah tebusan sampai US$3 juta dengan catatan harus segera ada pernyataan.

Kendati demikian, detik-detik kepastian pembayaran tebusan sempat diwarnai kejengkelan para perompak. Pada Jumat (15/3) pada pukul 11.00 waktu Somalia (15.00 WIB), PT SI mengirim pernyataan kesanggupan membayar tebusan sebesar US$2,8 juta. Padahal, PT SI awalnya menyatakan sepakat atas tuntutan US$3 juta dari bajak laut. Mohamed Salah dkk jengkel dan langsung menaikkan uang tebusan menjadi US$3,050 juta.

Baru pada jam 15.00 waktu Somalia atau 19.00 WIB, PT SI melayangkan pernyataan kesanggupan kompensasi kembali ke US$3 juta. Setelah dibujuk para ABK, perompak Somalia akhirnya menyetujui jumlah tersebut. Otomatis. perlakuan perompak Somalia terhadap para AKB berangsur membaik. Meski pengawasan terhadap sandera masih ketat, komunikasi para bajak laut jauh lebih lunak. Kawanan perompak yang berjumlah 35 orang sebelumnya sering bertengkar satu sama lain. Tingkah mereka sering merisaukan para sandera yang takut jadi sasaran empuk.

"Pagi ini kami dengar mereka berlari-larian dan berlatih senjata, kami sempat sembunyi karena takut. Lalu para perompak bilang 'No problem, kami hanya sedang latihan'. Otomatis, perlakuan mereka membaik," tutur Slamet, Sabtu (16/4).

Saat ini, perompak Somalia yang dipimpin Mohamed Salah tengah menunggu realisasi pengiriman tebusan dari Jakarta. Mereka meminta percepatan pengiriman melalui penerbangan ke salah satu bandara di Dubai, Djibouti, atau Nairobi (Kenya) pekan depan. Adapun penandatangan kesepakatan dari perompak telah dikirim ke PT SI melalui e-mail.

Secara umum kondisi para ABK sendiri mulai membaik. Slamet Riyadi, 58 tahun, ABK yang sempat mengalami diare dan depresi berat malah menangis terharu mendengar kabar kesanggupan PT SI.

"Dia menangis terharu, minimal ada harapan untuk hidup. Sekarang semangat dia terbakar lagi tetapi kita tetap jaga terus. Insya Allah tidak ada apa-apa nantinya," ujar Slamet.

Terorganisasi

Pembajakan di laut sepertinya telah berubah dari fenomena kawasan menjadi bisnis kriminal global. Perompakan terhadap kapal Turki beberapa tahun lalu bisa jadi bukti awal.

"Mereka sering kali menghubungi London dari kapal mereka," ujar Haldun Dincel, general manager perusahaan perkapalan Turki, Yardimci, yang sempat terlibat negosiasi dengan perompak Somalia.

Haldun mengatakan perompak menggunakan telepon satelit yang mereka bawa untuk mengontak para konsultan mereka. London, sambung Dincel, menjadi salah satu pusat yang sering dihubungi pembajak setelah kapal tanker diambil alih. "Setiap hari pemimpin perompak berhubungan dengan orang-orang dari London, Dubai, dan kadang Yaman," ujar Dincel.

Menurut harian The Guardian, setidaknya satu dari empat atau lima kelompok bajak laut terbesar saat ini menggunakan jasa `konsultan' yang berbasis di London untuk memilih target. Pada tiap kasus, seluruh pembajak tahu persis mengenai apa yang diangkut kapal, berapa muatan kargo, serta negara asal kapal tersebut. Konsultan-konsultan ini, menurut Dincel, merupakan orang-orang yang bekerja di dalam industri.

"Mereka tahu tentang kapal, arah kapal, di mana pelabuhan mereka, segalanya. Mereka tahu apa yang mereka lakukan," pungkasnya.

(SZ/BBC/Guardian/ I-5)

Minggu, 03 April 2011

Gadis Jubah Merah dengan Pakem Twilight





"Grandmother, what a big teeth you have?"
"The better to eat you with.
"

MASIH ingat sepotong dialog antara si jubah merah dan serigala hitam yang menyamar sebagai neneknya? Catherine Hardwicke, pelopor seri film Twilight (2008) berupaya menceritakan ulang dongeng asal Benua Eropa sebelum abad ke-17 ini. Lalu, apakah Hardwicke terjebak dalam format remaja ceroboh yang terlibat cinta segitiga dengan vampir tampan dan manusia serigala berbadan model celana dalam Calvin Klein?

Film dibuka dengan lanskap Desa Daggerhorn yang bertaburan salju dan bagaimana remaja putri Valerie (Amanda Seyfried, Mean Girls) mengenang kembali pesan ibunya agar jangan percaya dengan orang asing. Pesan itu ia langgar setelah jatuh cinta kepada penebang kayu Peter (Shiloh Fernandez). Padahal, kedua orang tuanya sudah menjodohkan dirinya dengan Henry (Max Irons), anak pandai besi kaya raya Adrian Lazar (Michael Shanks).

Ajakan Peter agar Valerie kabur bersama dirinya hanya berselang 5 menit sebelum teror serigala kembali menghantui Desa Daggerhorn. Setelah bertahun-tahun tidak ada korban manusia, serigala jadi-jadian kembali membantai korban yang tak lain merupakan kakak kandung Valerie, Lucie (Alexandria Maillot).

Daggerhorn pun kedatangan pendeta garis miring pemburu penyihir Father Solomon (Gary Oldman) yang menuding salah satu warga desa adalah manusia serigala atau setidaknya ikut membantu. Masalah semakin runyam ketika serigala berhasil memojokkan Valerie pada beberapa malam berikutnya. Alih-alih menyerang, Valerie ternyata dapat mengerti geraman-geraman serigala dan bercakap-cakap (masih ingat bagaimana Harry Potter dapat berbincang dengan ular? Seperti itulah).

Perbincangan tersebut membuat Valerie mulai mereka-reka siapa sesungguhnya manusia serigala tersebut. Bisakah Valerie membuka tabir sebelum bulan-bulan merah berakhir? Sementara Father Solomon dengan tangan besi mulai membabi buta dan tidak segan-segan membunuhi warga yang ia curigai menjadi antek-antek serangan serigala.

Freudian

Hardwicke sepertinya ingin keluar dari formula klise ala Twilight. Salah satu referensi yang dipergunakan Hardwicke ialah buku The Uses of Enchantment karya almarhum Bruno Bettelheim, penulis psikologi anak Amerika Serikat. Bettelheim yang menyitir analisis Freudian menilai kisah gadis kecil berjubah merah atau little red riding hood menggambarkan bagaimana dongeng anak mengedukasi pikiran anak-anak. Bettelheim menginterpretasikan motif si pemburu dengan membelah perut serigala dan menyelamatkan si jubah merah sebagai sebuah kesempatan kedua.

"Anak kecil yang dengan bodohnya percaya akan tipu daya serigala dilahirkan kembali sebagai manusia baru," tulis Bettelheim.

Masih ada pula deretan aktor mulai dari Seyfried, bintang 1960-an Julie Christie (The Fast Lady), dan pemeran Sirius Black dalam seri Harry Potter Gary Oldman.

Selain itu, penggambaran karakter gadis jubah merah Valerie juga sangat berbeda dari dongeng masa kecil. Red riding hood yang Anda saksikan adalah seorang perempuan yang sudah mulai dewasa secara seksual. Mungkin ini cara Hardwicke untuk mengakomodasi interpretasi bahwa kisah jubah merah menggambarkan proses akil balig remaja putri.

Jack Zipes dalam esai The Trials and Tribulations of Little Red Riding Hood mengatakan jubah merah dalam dongeng ini dapat disimbolkan sebagai proses menstruasi perempuan. Hutan gelap yang mesti ditembus jubah merah juga dianalogikan sebagai lika-liku remaja putri menuju kedewasaan. Sementara peran serigala, Anda sudah bisa tebak sendiri, menyimbolkan peran pria dalam proses pendewasaan perempuan. Baik itu kekasih, penggoda, maupun pemangsa.

Masih Twilight

Hardwicke belum sepenuhnya melepaskan diri dari formulasi Twilight yang membesarkan namanya. Film adaptasi novel Stephanie Meyer yang meraup keuntungan US$400 juta itu memang melambungkan nama Hardwicke. Namun, perempuan yang juga pernah menggarap film independen Thirteen (2003) dan film Injil The Nativity Story (2006) itu memutuskan keluar dari tim produksi saat Twilight memasuki sekuel.

Dari sisi pemeran pria utama, Shiloh Fernandez sekilas mirip dengan Robert Pattinson yang menjadi Edward Cullen dalam seri Twilight. Usut punya usut, Fernandez ternyata pernah bersaing dengan Pattinson untuk memenangi peran Cullen.

Sementara untuk karakter Henry yang tetap setia menolong Valerie meski sudah ditolak, tidakkah mengingatkan Anda pada cinta mati manusia serigala Jacob Black kepada Bella Swan di kisah Twilight? Apalagi, Taylor Lautner yang memerankan Black juga sempat akan ditawari peran Peter dalam Red Riding Hood.

Keseluruhan, akting Amanda Seyfried memang menjadi daya tarik utama film ini. Mata bulat Seyfried yang berwarna biru bisa menangkap seluruh emosi Red Riding Hood. Garis-garis muka Seyfried juga berubah-ubah mulai dari kepanikannya saat sang kakak tewas, rasa penasaran terhadap tingkah aneh orang-orang di sekitarnya, wajah berani saat mengonfrontasi si serigala, dan kegugupannya saat mengajukan pertanyaan seperti, "Nenek, besar sekali matamu? Besar sekali telingamu? Dan besar sekali gigi-gigimu?"

Apa pun itu, mari kita nikmati saja suguhan dongeng versi dewasa ala Hardwicke di film yang juga diproduseri aktor Leonardo DiCaprio ini. Berikutnya mari kita tunggu upaya Hardwicke untuk keluar dari formulasi Twilight. Semoga nanti Hardwicke kembali dapat mengejutkan kita seperti kisah Thirteen sebagai antitesis teen-flicks atau The Nativity Story yang menginterpretasikan ulang kisah pembantaian bayi laki-laki di Bethlehem pada masa lalu.

(SZ)

Rabu, 02 Maret 2011

West Wing Gagal ala Yudhoyono

IBARAT serial televisi Holywood berjudul West Wing, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menaruh orang-orang yang kritis di lingkaran dalam Istana. Mantan-mantan aktivis pun seakan mengalami goncangan budaya alias culture shock yang membuat mereka terlalu banyak berkomentar secara informal dan merembet ke personal. Padahal, kalau mau meniru West Wing, seharusnya 'manusia-manusia hebat' itu lebih banyak bekerja di belakang layar.

Ketika Soeharto memimpin, fungsi kehumasan negara biasanya diemban oleh Menteri Penerangan Harmoko atau Moerdiono yang saat itu menjabat sebagai Mensesneg. Maka, kalau dibandingkan dengan sekarang, seharusnya Mensesneg Sudi Silalahi yang banyak berbicara. Kenyataannya? Hampir semua lingkaran dalam Istana ikut sumbang suara.

Selain Dipo Alam, mantan aktivis 1978 yang kini menjadi Sekretaris Kabinet, SBY menaruh aktivis-aktivis 1990-an di sangkar kekuasaannya. Sebut saja Andi Arief yang menjadi staf khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana yang dulunya aktif sebagai Ketua Senat Mahasiswa Fisip UGM 1993-1994 dan Pemimpin Umum Majalah Mahasiswa Fisipol 1994-1995. Belum lagi dua juga staf khusus Presiden Velix Wanggai dan Denny Indrayana. Velix yang kuliah di jurusan Hubungan Internasional UGM menjadi Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah sementara Denny yang kini menjabat sebagai staf khusus bidang hukum sempat menjadi aktivis pers Mahasiswa Fakultas Hukum UGM.

Baru-baru ini, Dipo dan Andi membuat geger publik akibat pernyataan yang begitu reaktif dan terkesan tidak dipikir masak-masak. Dipo dengan provokasi untuk memboikot dua media televisi dan satu media cetak yang kritis, Andi via akun jejaring sosial Twitter menghabiskan waktu untuk berdebat dengan Wakil Sekjen DPP PKS Fahri Hamzah. Apakah mereka mengalami goncangan budaya sehingga lupa diri akan jabatan publik yang diemban? Apakah mereka masih butuh waktu lagi untuk penyesuaian menjadi pejabat publik?

Menyitir sambutan WS Rendra saat menerima Penghargaan Akademi Jakarta (1975), metafora negara antara lain diibaratkan dengan penjaga tubuh dan penjaga roh. Peran masing-masing tak tergantikan dan tidak dapat dirangkap. Nah, penjaga roh seperti cendekiawan dan seniman berada di luar struktur kekuasaan. Mereka berumah di angin dan bertugas memberikan inspirasi dan daya hidup kepada masyarakat. Penjaga tubuh, dalam hal ini Pemerintah, membutuhkan suara kritis penjaga roh. Jadi, mengutip Hamdi, pekerjaan pengamat seperti para tokoh lintas agama memang cuma teriak-teriak saja. Justru, pejabat publik yang punya posisi harus lebih banyak berbuat dan bekerja ketimbang bicara melulu.

Sepantasnya, pejabat publik sedikit mengerem keinginan untuk berkicau di akun Twitter dan lebih fokus pada pekerjaan. Apabila ada hal-hal yang ingin disampaikan ke publik, sebaiknya cukup satu pintu saja yakni juru bicara Presiden Julian Aldrin Pasha. Terlalu banyak pintu-pintu informal malah akan menimbulkan kekacauan di muka publik. Jangan salah, Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama pun punya Twitter. Tetapi apa yang dilakukan Obama lebih pada pernyataan-pernyataan resmi sebagai perpanjangan fungsi kehumasan pemerintahan 'Negeri Paman Sam'. Jangan samakan dengan debat Twitter ala Andi versus Fahri Hamzah yang sesungguhnya sudah bukan pada tempatnya lagi.

Katakanlah, para staf khusus itu membela diri bahwa pernyataan mereka murni sebagai pribadi, tentu saja itu akan susah. Bagaimanapun, mereka sudah menjadi pejabat publik sekarang dan bisa saja orang akan menafsirkan ucapan mereka sebagai bagian dari kebijakan Pemerintah. Seorang Obama pun tidak pernah berdebat di Twitter dan pernyataan yang ia buat murni pernyataan-pernyataan resmi selaku orang nomor satu 'Negeri Paman Sam.'

Lalu, apa yang membuat Dipo dan Andi mudah panas dan meledak di dalam menghadapi kritik Pemerintah? Setidaknya ada beberapa teori yang mungkin bisa menjelaskan. Pertama, kebiasaan cari muka dari pejabat publik kepada bos besar. Sebetulnya wajar saja apabila seseorang tunduk kepada sang atasan. Seorang Wimar Witoelar pun, meski aktivis, tetap membela almarhum Gus Dur saat menjadi RI 1. Setiap orang harus memihak sesuai dengan posisi politik yang berbeda-beda. Hanya, ditilik dari fakta bahwa masih ada jalan formal apabila merasa pemberitaan di media merugikan, seperti jalur hukum via somasi atau Dewan Pers, Dipo sudah melakukan kesalahan besar. Cara menghasut seperti yang dilakukan Dipo malah menjadi blunder tersediri karena hampir semua analis mengatakan itu kontraproduktif.

Kedua, kemungkinan ada semacam kesepakatan politik tersendiri pada lingkaran dalam SBY. Mungkin, Dipo tidak lebih dari sebuah bemper yang dilakukan untuk mengetes air atas sebuah kebijakan yang sebenarnya memang dari SBY. Tuan besar SBY pun tetap selamat. Bisa saja, mungkin sebenarnya memang Pak SBY yang kesal sama media. Namun, tentu bisa kacau kalau pernyataan yang bikin geger itu sampai keluar dari mulut seorang Presiden. Pengiriman sinyal pun dilakukan oleh Dipo. Presiden, seolah berkata: kamu aja yang ngomong deh. Tanpa bermaksud terjebak pada pola viktimisasi, Dipo bisa saja hanya bemper. Alias korban.

Artikel ini merupakan artikulasi dari hasil wawancara dengan Hamdi Moeloek, pakar psikologi politik Universitas Indonesia, Jumat (25/2).