IBARAT serial televisi Holywood berjudul West Wing, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menaruh orang-orang yang kritis di lingkaran dalam Istana. Mantan-mantan aktivis pun seakan mengalami goncangan budaya alias culture shock yang membuat mereka terlalu banyak berkomentar secara informal dan merembet ke personal. Padahal, kalau mau meniru West Wing, seharusnya 'manusia-manusia hebat' itu lebih banyak bekerja di belakang layar.
Ketika Soeharto memimpin, fungsi kehumasan negara biasanya diemban oleh Menteri Penerangan Harmoko atau Moerdiono yang saat itu menjabat sebagai Mensesneg. Maka, kalau dibandingkan dengan sekarang, seharusnya Mensesneg Sudi Silalahi yang banyak berbicara. Kenyataannya? Hampir semua lingkaran dalam Istana ikut sumbang suara.
Selain Dipo Alam, mantan aktivis 1978 yang kini menjadi Sekretaris Kabinet, SBY menaruh aktivis-aktivis 1990-an di sangkar kekuasaannya. Sebut saja Andi Arief yang menjadi staf khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana yang dulunya aktif sebagai Ketua Senat Mahasiswa Fisip UGM 1993-1994 dan Pemimpin Umum Majalah Mahasiswa Fisipol 1994-1995. Belum lagi dua juga staf khusus Presiden Velix Wanggai dan Denny Indrayana. Velix yang kuliah di jurusan Hubungan Internasional UGM menjadi Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah sementara Denny yang kini menjabat sebagai staf khusus bidang hukum sempat menjadi aktivis pers Mahasiswa Fakultas Hukum UGM.
Baru-baru ini, Dipo dan Andi membuat geger publik akibat pernyataan yang begitu reaktif dan terkesan tidak dipikir masak-masak. Dipo dengan provokasi untuk memboikot dua media televisi dan satu media cetak yang kritis, Andi via akun jejaring sosial Twitter menghabiskan waktu untuk berdebat dengan Wakil Sekjen DPP PKS Fahri Hamzah. Apakah mereka mengalami goncangan budaya sehingga lupa diri akan jabatan publik yang diemban? Apakah mereka masih butuh waktu lagi untuk penyesuaian menjadi pejabat publik?
Menyitir sambutan WS Rendra saat menerima Penghargaan Akademi Jakarta (1975), metafora negara antara lain diibaratkan dengan penjaga tubuh dan penjaga roh. Peran masing-masing tak tergantikan dan tidak dapat dirangkap. Nah, penjaga roh seperti cendekiawan dan seniman berada di luar struktur kekuasaan. Mereka berumah di angin dan bertugas memberikan inspirasi dan daya hidup kepada masyarakat. Penjaga tubuh, dalam hal ini Pemerintah, membutuhkan suara kritis penjaga roh. Jadi, mengutip Hamdi, pekerjaan pengamat seperti para tokoh lintas agama memang cuma teriak-teriak saja. Justru, pejabat publik yang punya posisi harus lebih banyak berbuat dan bekerja ketimbang bicara melulu.
Sepantasnya, pejabat publik sedikit mengerem keinginan untuk berkicau di akun Twitter dan lebih fokus pada pekerjaan. Apabila ada hal-hal yang ingin disampaikan ke publik, sebaiknya cukup satu pintu saja yakni juru bicara Presiden Julian Aldrin Pasha. Terlalu banyak pintu-pintu informal malah akan menimbulkan kekacauan di muka publik. Jangan salah, Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama pun punya Twitter. Tetapi apa yang dilakukan Obama lebih pada pernyataan-pernyataan resmi sebagai perpanjangan fungsi kehumasan pemerintahan 'Negeri Paman Sam'. Jangan samakan dengan debat Twitter ala Andi versus Fahri Hamzah yang sesungguhnya sudah bukan pada tempatnya lagi.
Katakanlah, para staf khusus itu membela diri bahwa pernyataan mereka murni sebagai pribadi, tentu saja itu akan susah. Bagaimanapun, mereka sudah menjadi pejabat publik sekarang dan bisa saja orang akan menafsirkan ucapan mereka sebagai bagian dari kebijakan Pemerintah. Seorang Obama pun tidak pernah berdebat di Twitter dan pernyataan yang ia buat murni pernyataan-pernyataan resmi selaku orang nomor satu 'Negeri Paman Sam.'
Lalu, apa yang membuat Dipo dan Andi mudah panas dan meledak di dalam menghadapi kritik Pemerintah? Setidaknya ada beberapa teori yang mungkin bisa menjelaskan. Pertama, kebiasaan cari muka dari pejabat publik kepada bos besar. Sebetulnya wajar saja apabila seseorang tunduk kepada sang atasan. Seorang Wimar Witoelar pun, meski aktivis, tetap membela almarhum Gus Dur saat menjadi RI 1. Setiap orang harus memihak sesuai dengan posisi politik yang berbeda-beda. Hanya, ditilik dari fakta bahwa masih ada jalan formal apabila merasa pemberitaan di media merugikan, seperti jalur hukum via somasi atau Dewan Pers, Dipo sudah melakukan kesalahan besar. Cara menghasut seperti yang dilakukan Dipo malah menjadi blunder tersediri karena hampir semua analis mengatakan itu kontraproduktif.
Kedua, kemungkinan ada semacam kesepakatan politik tersendiri pada lingkaran dalam SBY. Mungkin, Dipo tidak lebih dari sebuah bemper yang dilakukan untuk mengetes air atas sebuah kebijakan yang sebenarnya memang dari SBY. Tuan besar SBY pun tetap selamat. Bisa saja, mungkin sebenarnya memang Pak SBY yang kesal sama media. Namun, tentu bisa kacau kalau pernyataan yang bikin geger itu sampai keluar dari mulut seorang Presiden. Pengiriman sinyal pun dilakukan oleh Dipo. Presiden, seolah berkata: kamu aja yang ngomong deh. Tanpa bermaksud terjebak pada pola viktimisasi, Dipo bisa saja hanya bemper. Alias korban.
Artikel ini merupakan artikulasi dari hasil wawancara dengan Hamdi Moeloek, pakar psikologi politik Universitas Indonesia, Jumat (25/2).