Pada Sabtu, 10 Desember 2011, sekitar pukul 23.00 WIB, jemari saya menggunggah berita mengenai keberhasilan Komisi Pemberantasan Korupsi memulangkan tersangka kasus suap, Nunun Nurbaetie dari Bangkok, Thailand. Selesai sudah, pengabdian saya kepada koran nasional Media Indonesia selama lebih dari 1,5 tahun. Setelah melepas stres sebentar di ruang wartawan, gedung lembaga antisuap itu, saya kembali ke kosan saya di sekitar Kemanggisan, Jakarta Barat untuk bersiap-siap pulang ke Bandung, ke rumah orang tua.
Betul, kepulangan Nunun ini memang terasa spesial bagi saya pribadi. Diboyongnya istri mantan Wakil Kapolri Adang Daradjatun itu sekaligus menjadi naskah terakhir saya bagi koran tempat saya pertama kali berkarier sebagai wartawan itu. Beberapa rekan di lapangan yang tahu bahwa hari itu menjadi hari terakhir saya di KPK mengucapkan selamat jalan dan sampai jumpa. Saya tersenyum simpul mendengar itu semua.
Saya memulai perjalanan bersama Media Indonesia per 1 Maret 2010 di bawah didikan wartawan Yohannes Widada. Bersama rekan angkatan satu-satunya, Anata Syah Fitri Siregar saya digembleng oleh bapak satu itu. Belum juga dua pekan kami berdua belajar membelah Jakarta, aksi aparat melumpuhkan teroris terjadi di daerah Pamulang. Pamulang pula yang menjadi awal mula tulisan saya dan Nata, sapaan akrab Anata, mulai menghiasi koran di halaman Megapolitan.
Penempatan pos alias kompartemen akhirnya terjadi pada 15 Maret 2010. Saya ditempatkan di meja Internasional sesuai dengan program studi dulu dan Nata dengan kegigihannya yang terbaca sejak awal menjadi prajurit Megapolitan. Pada titik ini kami menjadi jarang bertemu karena dia ditempatkan nun jauh di Tanjung Priok sana sementara saya ngendon di kantor.
Berada di kompartemen Internasional sebenarnya memiliki cerita tersendiri—kami memang jarang sekali berada di lapangan. Tetapi pada saat saya berada di pos ini, nasib beberapa WNI kita yang menjadi sukarelawan untuk masyarakat di Gaza di ujung tanduk setelah serangan tidak bermoral pasukan Israel. Tergerak, meski hanya mengandalkan sambungan internasional, saya berusaha mengecek keadaan mereka. Salah satunya berhasil saya hubungi (Nurfitri Taher) lewat teknologi Facebook serta rekan penulis saya yang kenal dengan keluarga beliau.
Sambungan internasional juga yang membawa saya menghubungi seorang relawan yang tergolek di rumah sakit Turki. Susah-susah gampang sebetulnya, meski nomor RS Turki itu bisa didapat dari KBRI kita tetapi butuh kesabaran untuk berbicara dengan bagian humas yang tidak bisa berbahasa Inggris. Kata-kata “Indonesia, Flotilla, Patient,” saya ulang terus menerus hingga ia mengerti maksud saya. Syukurlah, ada wartawan senior Desi Anwar yang waktu itu bertugas meliput dan dia juga yang membantu saya untuk mewawancarai si relawan.
Setelah empat bulan, surat penugasan membawa saya memasuki satu pos yang menjadi momok bagi wartawan-wartawan baru di koran ini: Polkam. Bertugas di halaman politik memang butuh ketelatenan dan fisik yang luar biasa. Tidak heran bahwa masuk rumah sakit minimal satu kali sepertinya biasa saja bagi mereka yang pernah bertugas di rubrik Polkam. Akan tetapi, rubrik ini juga yang menggembleng kami untuk menjadi wartawan tangguh dan bekerja cerdas.
Pesan yang saya ingat terus oleh atasan saya di desk ini adalah masalah tulisan supaya lebih to the point. Desk ini juga yang mengajarkan kepada kami untuk menembus narasumber dan mengajarkan banyak sekali dinamika politik di tanah air.
Beberapa bulan setelah itu, surat penugasan kembali mengantarkan saya ke sebuah pengalaman yang sama sekali berbeda: Ekonomi. Terkesan santai, sebetulnya desk ini yang mengajarkan saya mengenai pentingnya data dan grafis. Memang, berada di pos Polkam saya kadang terlena untuk terus menggunakan ‘jurnalisme congor’ mengingat perang wacana memang lebih sering mewarnai tulisan politik. Ditempatkan di bagian Energi, meski saya sering megap-megap karena tidak mengerti, pelan-pelan saya mulai belajar untuk lebih fokus kepada angka.
Saya ingat sekali dua pesan atasan saya waktu itu yang kini menjadi salah satu petinggi. Pertama, jangan hanya terpaku pada angka-angka tetapi juga mesti dibahasakan. Misalnya, jangan tulis ‘Bandung terancam kehilangan 5.000 MW’tetapi tuliskan berapa banyak rumah yang terancam kehilangan listrik. Pelajaran kedua dari beliau, jangan pernah takut untuk bertanya dan bertanya kepada narasumber.
“Mahel, ingat, kamu itu wartawan. Kamu itu dibayar untuk bertanya. Kamu bukan dibayar untuk menjadi pakar,” begitu kira-kira kata atasan saya.
Setelah beberapa bulan mengawal isu listrik dan pembatasan Bahan Bakar Bersubsidi yang sampai sekarang (sampai saya mengundurkan diri) tidak juga jelas bagaimana bentuknya saya dikembalikan ke pos Internasional. Meski seorang diri, saya sangat senang karena ada redaktur yang baru saja kembali studi yang punya passion begitu besar akan isu-isu Internasional. Sehingga, pekerjaan saya terasa lebih menantang sekaligus ringan.
Selama hampir dua puluh hari kerja, saya dicekoki isu perompakan kapal MV Sinar Kudus. Sumber saya menghubungkan saya dengan nomor kapten kapal yang… pada suatu hari diangkat oleh perompaknya sendiri. Kaget, saya dengan terbata-bata berusaha menanyakan keadaan para sandera dan ia malah mengancam akan membunuh mereka kalau uang tebusan tidak kunjung tiba. Redaktur saya mengusulkan naskah itu ke rapat redaksi dan akhirnya masuk ke halaman pertama. Kontribusi ini begitu saya ingat karena menandai betapa desk ini sebetulnya bisa ‘bersuara’.
Pada hari ke-21, surat penugasan mengembalikan saya ke desk Polkam. Pergeseran ini juga yang membawa saya untuk bertugas di gedung KPK. Walau belum banyak kontribusi saya, saya cukup bersyukur karena penempatan ini bersamaan dengan tingginya intensitas pemberitaan di kantor lembaga ad hoc itu. Meski demikian, KPK sekaligus juga menjadi tempat liputan terakhir saya karena beberapa bulan setelahnya, saya memilih mengundurkan diri.
Setelah hampir satu setengah tahun, saya akhirnya lulus duluan dari semua wartawan MI yang masuk pada tahun 2010. Surat pengunduran diri sudah dilayangkan dan yang paling berat adalah meninggalkan zona nyaman saya di Kedoya. Tetapi, sesekali kita mesti berani menentang daya gravitasi itu, kan?
Saya mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada rekan-rekan seperjuangan khususnya untuk Polkam, Ekonomi, dan Internasional yang menjadi tempat saya bernaung. Tempat ini membangun fondasi pertama saya untuk menjadi wartawan yang lebih baik. Juga tempat saya bertemu dengan para penggila karaoke yang menjadi pelepas stres sebagian wartawan (Yay!).
Thank God, I found the ‘good’ in goodbye