Naya adalah seorang remaja perempuan yang sangat pintar. Sayangnya, pintar di sini adalah pintar menjawab.
Suatu hari Naya pulang dari diskotik lewat tengah malam. Ibu Naya pun berkata.
"Naya, tidak baik perempuan baru pulang jam segini."
"Tenang, Bu. Apa bedanya dengan dongeng Upik Abu alias Cinderella yang dulu sering Ibu bacakan? Dia perempuan dan pulang setelah jam 12 malam."
Ibu Naya hanya bisa mengusap-usap dada.
Hari berikutnya, Ibu Naya menangkap basah Naya mengambil uang dari kamarnya diam-diam. Ibu Naya pun memarahinya.
"Naya, perbuatan mencuri itu tidak baik."
"Tenang, Bu. Apa bedanya dengan dongeng Robin Hood yang dulu sering Ibu bacakan? Dia juga seorang pencuri."
Si Ibu hanya bisa mengusap-usap dada.
Suatu hari Naya didamprat habis karena berbohong tentang nilai ulangannya. Ibu Naya pun berkata.
"Naya, kau tidak boleh berbohong. Itu dosa."
Naya memutar matanya.
"Tenang, Bu. Aku hanya mencontoh dongeng Pinokio yang dulu sering Ibu bacakan? Dia kan tukang bohong."
Lagi-lagi, Ibu Naya hanya bisa mengusap-usap dada.
Suatu hari Naya kembali pulang dari diskotik lewat tengah malam. Begitu membuka pintu, terkejut Naya melihat sang Ibu tengah bercumbu di ruang tamu dengan tujuh pria sekaligus.
"Ibu? Apa-apaan ini?"
"Tenang, Nay. Apa bedanya Ibu dengan dongeng Snow White alias Putri Salju yang tinggal bersama tujuh pria sekaligus?"
Mata Naya jatuh pada tangan-tangan pria yang mengusap-usap dada Ibunda.
Kebon Jeruk, Desember 2010
In the deepest hour of the night, confess to yourself that you would die if you were forbidden to write. And look deep into your heart where it spears its roots the answer and ask yourself; must I write? (Rainer Maria Rilke)
Selasa, 21 Desember 2010
Senin, 12 Juli 2010
Kebesaran Hati Fans Oranje di Erasmus Huis, Kedubes Belanda
SUASANA Erasmus Huis, Kedutaan Besar Belanda di Jl H.R. Rasuna Said dini hari tadi (12/7) begitu meriah oleh lautan pendukung "Oranje." Sebuah poster besar berwarna jingga bertuliskan "You Ain't Much if You Ain't Dutch" berada di depan. Gelas-gelas bir, makanan kecil seperti kentang goreng tidak henti-henti menemani penonton yang hadir.
Suasana begitu riuh rendah tatkala Belanda berkali-kali berhasil menepis tekanan tim Spanyol. Berkali-kali mereka meneriakkan umpatan ketika tidak puas akan keputusan wasit ataupun beberapa kejadian lainnya.
Namun, ketika gol tunggal Andres Iniesta pada menit ke-116 berhasil menerobos gawang "Tim Oranje", penonton pun seolah menahan napas. Teriakan kekecewaan begitu peluit panjang ditiup pun tidak terbantahkan.
"Berikutnya, mereka akan menang," papar Ursa menyatakan rasa optimisnya. Ia mengenakan hiasan kepala berwarna jingga dan penuh bulu pada acar "Nonton Bareng!" tersebut. "Sebetulnya Belanda main bagus, tetapi memang Spanyol juga kuat. Sekarang Spanyol menang tetapi empat tahun lagi pasti Belanda."
"Saya sedikit kecewa," tutur Edwin, manajer keamanan Erasmus Huis kepada Media Indonesia. Ia memperkirakan lebih dari 1.500 orang memenuhi Erasmus Huis dan lebih dari 90% di antaranya adalah warga Indonesia. "Menjadi posisi keamanan membuat saya tidak bisa menyaksikan pertandingan sepenuhnya untuk memberikan komentar. Namun, baik Spanyol maupun Belanda sama-sama bermain hebat dan harus ada satu tim yang memenangi pertandingan."
"Hancur hati gue!" tutur Gading Marten yang hadir mendukung tim kesayangannya di Erasmus Huis, Jakarta. "Saya tetap bangga sama Belanda. Juara tanpa mahkota memang selalu melekat di Belanda. Tapi memang kalau yang namanya bola memang selalu kontroversi seperti banyaknya kartu."
Gading juga berpendapat sebelum gol tunggal pertandingan terjadi itu sudah berada pada keadaan offset. Namun, ia tetap berbesar hati dan mengatakan pada sebuah pertandingan memang selalu ada menang dan kalah.
"Saya setuju untuk penggunaan hawk eye pada sepakbola. Tenis sudah pake, basket sudah pake jadi (sepak)bola sepertinya sudah harus pake," tutur Gading yang menyatakan masih terus mendukung tim Belanda untuk ke depannya.
Sementara bagian pers dan juru bicara Kedubes Belanda Dorine Wytema mengatakan sama sekali tidak berkeberatan perihal wasit pertandingam. Menurut Wytema yang tengah mengandung, referee sudah cukup fair.
"Ia memang membuat beberapa kesalahan bagi kedua tim, tetapi itu manusiawi dan masih cukup wajar," papar Wytema yang datang bersama suaminya. "Saya pikir wasit pertandingan kali ini oke-oke saja. Ia memimpin pertandingan dengan cukup baik."
Tatkala Media Indonesia menyinggung peluang Belanda di Pentas Euro 2012 dan Piala Dunia 2014, Wytema berseloroh kini "Negeri Kincir Angin" memiliki sebuah "goal" baru.
"Ide untuk memakai teknik hawk eye adalah sebuah ide yang bagus. Ini untuk membantu wasit mengambil keputusan-keputusan signifikan pada sebuah pertandingan."
Itulah sekutip potret dari pendukung setia Oranje yang berbesar hati. Hup Holland Hup!
Suasana begitu riuh rendah tatkala Belanda berkali-kali berhasil menepis tekanan tim Spanyol. Berkali-kali mereka meneriakkan umpatan ketika tidak puas akan keputusan wasit ataupun beberapa kejadian lainnya.
Namun, ketika gol tunggal Andres Iniesta pada menit ke-116 berhasil menerobos gawang "Tim Oranje", penonton pun seolah menahan napas. Teriakan kekecewaan begitu peluit panjang ditiup pun tidak terbantahkan.
"Berikutnya, mereka akan menang," papar Ursa menyatakan rasa optimisnya. Ia mengenakan hiasan kepala berwarna jingga dan penuh bulu pada acar "Nonton Bareng!" tersebut. "Sebetulnya Belanda main bagus, tetapi memang Spanyol juga kuat. Sekarang Spanyol menang tetapi empat tahun lagi pasti Belanda."
"Saya sedikit kecewa," tutur Edwin, manajer keamanan Erasmus Huis kepada Media Indonesia. Ia memperkirakan lebih dari 1.500 orang memenuhi Erasmus Huis dan lebih dari 90% di antaranya adalah warga Indonesia. "Menjadi posisi keamanan membuat saya tidak bisa menyaksikan pertandingan sepenuhnya untuk memberikan komentar. Namun, baik Spanyol maupun Belanda sama-sama bermain hebat dan harus ada satu tim yang memenangi pertandingan."
"Hancur hati gue!" tutur Gading Marten yang hadir mendukung tim kesayangannya di Erasmus Huis, Jakarta. "Saya tetap bangga sama Belanda. Juara tanpa mahkota memang selalu melekat di Belanda. Tapi memang kalau yang namanya bola memang selalu kontroversi seperti banyaknya kartu."
Gading juga berpendapat sebelum gol tunggal pertandingan terjadi itu sudah berada pada keadaan offset. Namun, ia tetap berbesar hati dan mengatakan pada sebuah pertandingan memang selalu ada menang dan kalah.
"Saya setuju untuk penggunaan hawk eye pada sepakbola. Tenis sudah pake, basket sudah pake jadi (sepak)bola sepertinya sudah harus pake," tutur Gading yang menyatakan masih terus mendukung tim Belanda untuk ke depannya.
Sementara bagian pers dan juru bicara Kedubes Belanda Dorine Wytema mengatakan sama sekali tidak berkeberatan perihal wasit pertandingam. Menurut Wytema yang tengah mengandung, referee sudah cukup fair.
"Ia memang membuat beberapa kesalahan bagi kedua tim, tetapi itu manusiawi dan masih cukup wajar," papar Wytema yang datang bersama suaminya. "Saya pikir wasit pertandingan kali ini oke-oke saja. Ia memimpin pertandingan dengan cukup baik."
Tatkala Media Indonesia menyinggung peluang Belanda di Pentas Euro 2012 dan Piala Dunia 2014, Wytema berseloroh kini "Negeri Kincir Angin" memiliki sebuah "goal" baru.
"Ide untuk memakai teknik hawk eye adalah sebuah ide yang bagus. Ini untuk membantu wasit mengambil keputusan-keputusan signifikan pada sebuah pertandingan."
Itulah sekutip potret dari pendukung setia Oranje yang berbesar hati. Hup Holland Hup!
Label:
Belanda,
Bola,
Erasmus Huis,
Liputan,
Piala Dunia
Rabu, 16 Juni 2010
Review Film Minggu Pagi di Victoria Park: Sepotong Ahad Kaum Marjinal Indonesia di Belahan Dunia
Judul : Minggu Pagi di Victoria Park
Pemain : Lola Amaria, Titi Sjuman, Donny Alamsyah, Imelda Soraya, Permatasari Harahap
Sutradara : Lola Amaria
Penulis : Titien Wattimena
Produser : Sabrang Mowo Damar Panuluh, Dewi Umaya Rachman
Produksi : Pic[k]lock Production
Durasi : 97 menit
DUA orang pembantu alias TKI dan anak-anak asuh mereka pulang dari sekolah dasar. Salah satu dari mereka menggerutu karena si anak laki-laki yang merupakan anak majikan lagi-lagi berkelahi meski sudah dilarang. Ketika tuan mudanya mengeluh karena selalu dihina berdasarkan posturnya, si pengasuh pun naik pitam.
“Mayang bilang, kamu harus menerima kekurangan bahwa tubuh kamu itu kecil. Jika kamu tidak mau ikhlas, seumur hidupmu terisi dengan frustrasi dan amarah.”
Sepenggal kalimat itu terucap dari bibir Sari yang menerjemahkan perkataan temannya kepada anak asuhnya. Rekannya yang bernama Mayang (diperankan Lola Amaria) meminta agar Sari yang mengalihbahasakan dialek Indonesia-Jawa menjadi bahasa Kanton. Sari pun menyanggupi.
Terenyuh, si bocah memeluk pembantunya.
Itu adalah sekilas kisah hidup perempuan yang menjadi pahlawan devisa di mancanegara. Benang merah itu yang ingin ditampilkan kru film Minggu Pagi di Victoria Park. Penulis sempat melihat pola yang sama film besutan Ani Ema Susanti yang sempat menggagas kisah serupa. Bedanya, penampilan sutradara kali ini lebih menekankan kepada fiksi mini. Mini, karena sebagian besar realita ditampilkan begitu riil sampai terkesan film ini menjadi handbook untuk para calon TKI.
Namun, cerita yang sederhana dapat ditampilkan dengan kompleksitas dari rangkaian gambar di balik rangkaian pita seluloid. Sesungguhnya plot-plot yang ditampilkan cukup simpel: persaingan dua anak untuk mendapatkan pengakuan bapak, memberikan materi sebagai bentuk kasih sayang kepada pasangan, konflik batin seorang kakak yang iri tetapi mengasihi adiknya sampai cinta sesama jenis. Namun, kompleksitas justru muncul dari hal-hal sederhana tersebut.
Daya tarik Minggu Pagi di Victoria Park bisa jadi terletak di dua pemeran utamanya. Baik Lola Amaria maupun Titi Sjuman (yang kemarin menggaet hati audiens via penampilan apik di Mereka Bilang, Saya Monyet!) memberikan penghayatan penuh. Lola berperan sebagai Mayang, sulung yang haus perhatian ayah dan merasa biasa-biasa saja. Titi memerankan si bontot bernama Sekar yang selalu menjadi pusat tata surya kaum adam di sekitarnya—terutama ayahanda.
Cuplikan-cuplikan yang terselip di antara inti cerita mampu membangun pemahaman mengenai apa yang menyebabkan Mayang begitu ogah melacak si adik—terlepas dari kenyataan bahwa dirinya memang ditugasi pergi ke Hong Kong oleh bapak untuk itu.
Minggu Pagi di Victoria Park mengisahkan suka duka pembantu rumah tangga yang mendominasi sektor ketenagakerjaan di luar negeri. Seluruh konsekuensi atas tekanan jiwa yang dapat dialami TKI dikupas di dalam film ini mulai dari terbelit utang, menjual diri untuk mendapatkan pemasukan, sampai menutup riwayat pribadi karena tidak tahan menghadapi hidup.
Kekurangan sinema ini adalah terlalu banyak realita yang ingin dirangkum dalam sebuah cerita linear. Hal ini dapat mengakibatkan sebagian penyimak menganggap ada cerita yang terlalu berlebihan dan mengada-ada. Padahal, bisa jadi itu memang berdasarkan fakta.
Kelemahan yang sama terdapat pada film Alangkah Lucunya karya Deddy Mizwar yang, terlepas dari pertanyaan sosial yang diberikan, luruh ke dalam nilai-nilai komersialitas yang berlebihan. Penyajian merupakan hal yang terpenting dalam menyampaikan cerita, tetapi kearifan penonton untuk bisa meresapi makna di balik narasi jauh lebih penting.
Ending film ini meski termasuk kategori “bahagia” masih dibumbui klip masa silam yang membuat kita mengerti sepenuhnya dari mana kisah ini dimulai sebelum diakhiri. Di luar itu, terlihat cuplikan pagi Ahad di belahan dunia lain menampilkan sorakan “pahlawan devisa” menyambut grup musik kesayangan mereka. Band yang mungkin bagi kalangan tertentu di Indonesia dipandang tidak “keren” atau “trendi.” Ah, realita ... (*)
Sabtu, 13 Maret 2010
Reuni Kecil Toni Braxton dan Adik-adiknya di Java Jazz International 2010
Sesuatu yang menarik terjadi saat Toni Braxton mengadakan konser Sabtu (6/3) kemarin di JJF 2010. Selain mengundang Kenneth "Babyface" Edmonds menyanyikan satu lagu berjudul "Whip Appeal", Toni mengajak saudarinya Towanda Braxton untuk bernyanyi bersamanya. Bersama dua saudari Braxton lainnya, Trina dan Tamar, Towanda menyanyikan cuplikan lagu En Vogue berjudul "My Lovin' (Never Gonna Get It)".
Rasanya masih sedikit orang Indonesia yang tahu bahwa sebelum menjadi penyanyi solo, Toni Braxton memulai kariernya sebagai lead vocal grup The Braxtons. Di luar Toni, grup ini terdiri dari empat adik-adiknya: Traci, Trina, Towanda dan Tamar.
Mereka merilis lagu The Good Life pada tahun 1990. Lagu itu tidak menjadi hits, namun suara alto Toni menarik perhatian Antonio "L.A." Reid dan Babyface sendiri. Sayangnya, saat itu LaFace Records yang didirikan L.A. Reid dan Babyface sudah punya grup vokal TLC. Toni pun menandatangi kontrak sebagai penyanyi solo pertama di label tersebut.
Sebuah reuni kecil sebetulnya pernah terjadi. Ketika Toni mengeluarkan video untuk lagunya Seven Whole Days, adik-adiknya muncul sebagai penyanyi latar.
Pada tahun 1996, Trina, Towanda dan Tamar mengeluarkan album berjudul So Many Ways. Traci yang saat itu tengah hamil mengundurkan diri dari grup vokal itu. So Many Ways antara lain menampilkan kebolehan The Braxtons membawakan ulang lagu Diana Ross berjudul The Boss.
Grup ini akhirnya bubar ketika Tamar yang mampu bernyanyi dengan whistle register ala Mariah Carey dan Shanice memutuskan untuk bersolo karier. Tamar memang tidak sesukses kakaknya, Toni. Namun dirinya dikenal sebagai penyanyi klub yang cukup diakui, walaupun tidak memiliki hits.
Trina memilih jalur yang sedikit berbeda. Dia tampil di beberapa panggung broadway dan drama musikal seperti pada tahun 2004. Ia tampil di Meet the Browns karya Tyler Perry.
Akhirnya, kedua adik Toni ini membantu kakaknya sebagai penyanyi latar. Mereka sering terlihat hadir mendukung Toni saat manggung. Termasuk ketika Toni Braxton konser di Jakarta kemarin. Kehadiran Tamar yang sekilas mirip dengan Toni sempat membuat penonton heboh. Mereka mengira Toni yang muncul. Belakangan mereka baru sadar bahwa itu adalah penyanyi latar. :)
Berikut foto Tamar dan kakaknya, Toni.
Towanda yang sering merasa seperti black sheep di antara kelima saudarinya, muncul di serial Starting Over season 2. Reality show ini adalah sebuah acara dimana perempuan yang pernah merasa gagal di dalam hidupnya memulai lagi dari awal dengan semangat baru.
Berikut foto Towanda.
Towanda mengaku dia kerap iri dengan kesuksesan kakaknya, Toni. Begitu pula dengan kedua saudarinya yang lain, Trina dan Tamar. Dia juga kesal dengan sikap Traci yang begitu saja keluar dari The Braxtons dan (menurutnya) tidak jujur soal kehamilannya.
Namun, begitu melihat mereka semua tampil di Java Jazz kemarin ... jelas kalau mereka semua sudah kembali rukun. Memang tidak semua orang di Indonesia mengetahui hal ini, makanya saya berbagi. Sayang, saya tidak menemukan foto-foto yang mengabadikan saat mereka bersama di panggung.
Kisah Toni, Traci, Trina, Towanda dan Tamar sebetulnya adalah sebuah kisah yang bisa kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana, at the end of the day, family comes first.
Apalagi mengingat Toni yang beberapa tahun belakangan ini menurun prestasinya. Rasanya senang melihat keluarga Braxtons saling mendukung dengan berbagai cara. Melihat talenta dan mendengar suara mereka yang luar biasa ... tinggal tunggu waktu untuk melihat klan Braxtons kembali berjaya!
Rasanya masih sedikit orang Indonesia yang tahu bahwa sebelum menjadi penyanyi solo, Toni Braxton memulai kariernya sebagai lead vocal grup The Braxtons. Di luar Toni, grup ini terdiri dari empat adik-adiknya: Traci, Trina, Towanda dan Tamar.
Mereka merilis lagu The Good Life pada tahun 1990. Lagu itu tidak menjadi hits, namun suara alto Toni menarik perhatian Antonio "L.A." Reid dan Babyface sendiri. Sayangnya, saat itu LaFace Records yang didirikan L.A. Reid dan Babyface sudah punya grup vokal TLC. Toni pun menandatangi kontrak sebagai penyanyi solo pertama di label tersebut.
Sebuah reuni kecil sebetulnya pernah terjadi. Ketika Toni mengeluarkan video untuk lagunya Seven Whole Days, adik-adiknya muncul sebagai penyanyi latar.
Pada tahun 1996, Trina, Towanda dan Tamar mengeluarkan album berjudul So Many Ways. Traci yang saat itu tengah hamil mengundurkan diri dari grup vokal itu. So Many Ways antara lain menampilkan kebolehan The Braxtons membawakan ulang lagu Diana Ross berjudul The Boss.
Grup ini akhirnya bubar ketika Tamar yang mampu bernyanyi dengan whistle register ala Mariah Carey dan Shanice memutuskan untuk bersolo karier. Tamar memang tidak sesukses kakaknya, Toni. Namun dirinya dikenal sebagai penyanyi klub yang cukup diakui, walaupun tidak memiliki hits.
Trina memilih jalur yang sedikit berbeda. Dia tampil di beberapa panggung broadway dan drama musikal seperti pada tahun 2004. Ia tampil di Meet the Browns karya Tyler Perry.
Akhirnya, kedua adik Toni ini membantu kakaknya sebagai penyanyi latar. Mereka sering terlihat hadir mendukung Toni saat manggung. Termasuk ketika Toni Braxton konser di Jakarta kemarin. Kehadiran Tamar yang sekilas mirip dengan Toni sempat membuat penonton heboh. Mereka mengira Toni yang muncul. Belakangan mereka baru sadar bahwa itu adalah penyanyi latar. :)
Berikut foto Tamar dan kakaknya, Toni.
Towanda yang sering merasa seperti black sheep di antara kelima saudarinya, muncul di serial Starting Over season 2. Reality show ini adalah sebuah acara dimana perempuan yang pernah merasa gagal di dalam hidupnya memulai lagi dari awal dengan semangat baru.
Berikut foto Towanda.
Towanda mengaku dia kerap iri dengan kesuksesan kakaknya, Toni. Begitu pula dengan kedua saudarinya yang lain, Trina dan Tamar. Dia juga kesal dengan sikap Traci yang begitu saja keluar dari The Braxtons dan (menurutnya) tidak jujur soal kehamilannya.
Namun, begitu melihat mereka semua tampil di Java Jazz kemarin ... jelas kalau mereka semua sudah kembali rukun. Memang tidak semua orang di Indonesia mengetahui hal ini, makanya saya berbagi. Sayang, saya tidak menemukan foto-foto yang mengabadikan saat mereka bersama di panggung.
Kisah Toni, Traci, Trina, Towanda dan Tamar sebetulnya adalah sebuah kisah yang bisa kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana, at the end of the day, family comes first.
Apalagi mengingat Toni yang beberapa tahun belakangan ini menurun prestasinya. Rasanya senang melihat keluarga Braxtons saling mendukung dengan berbagai cara. Melihat talenta dan mendengar suara mereka yang luar biasa ... tinggal tunggu waktu untuk melihat klan Braxtons kembali berjaya!
Senin, 01 Maret 2010
Letter: Learning from `2012'
Letter: Learning from `2012'
Wed, 12/02/2009 2:09 PM | Reader's Forum
While many eyes of Indonesians have been startled by the ongoing news about the KPK case, another story made me raise my eyebrows: the recent call by clerics from the Indonesian Ulema Council (MUI) to ban the doomsday-themed movie 2012. In my humble opinion, the call to prohibit the movie only based on rumor is controversial. Although this is not the first time it has made controversial decisions.
Several days ago, my friend and I decided to watch the movie. Afterwards, we had different reviews: I was slightly bored by the use of "the end of days" related theme while my friend thought the movie was entertaining. However, we both agreed the movie had amazing special effects.
To put it briefly, the movie tells us the story of a situation in 2009 where scientists found a number of occurrences showing the end of the world was near. Before that, the Mayans had predicted that 2012 would be the last days of earth. The movie narrates how the people struggle to survive on the so-called doomsday.
There is one scene that many believed initiated the MUI's decision to ban the movie: the scene that showed a mosque destroyed by an earthquake. Furthermore, MUI chief KH Mahmud Zubaidi in Malang mentioned that doomsday is something that "no man could predict" and "the movie is not appropriate because it could affect people's way of thinking."
In my opinion, however, this is not the case. The call by MUI has officially underestimated Muslims in Indonesia who can differentiate between fact and fiction. The movie itself was enjoyable and there are many things we can learn from the movie. Yes, there are no people who can predict the end of the world. The movie nonetheless did not explicitly mean to tell us when the end of the world is. It is only to show us what may occur if doomsday arrives.
The Mayans arguably never predicted anything about the doomsday. The speculation arises because their calendar stops at 2012. Therefore, the reckoning appears due to a loose interpretation about the calendar rather than the Mayans' prophecy. Ironically, the council's verdict has provided the movie with free publicizing. For instance, Twitter has mentioned many times that MUI should not ban the movie. Many Tweets (a post on Twitter) even ridiculed MUI by saying that they should focus on other issues rather than ban the Hollywood movie.
Finally, I think it is time for MUI to start believing in the ability of Indonesian Muslims to decipher fact from fiction. The fact is that MUI's actions lead society to see them negatively. The problem that needs to be solved is not banning the movie. What we should understand more is how society sees the movie.
Perhaps, we feel insecure about entering judgment day due to the many terrible things we have done in the past. Thus, the case is not about what movie says, but how we see ourselves reflected in the movie's plot.
Amahl S. Azwar
Jakarta
(Retrieved from: http://www.thejakartapost.com/news/2009/12/02/letter-learning-2012039.html )
Wed, 12/02/2009 2:09 PM | Reader's Forum
While many eyes of Indonesians have been startled by the ongoing news about the KPK case, another story made me raise my eyebrows: the recent call by clerics from the Indonesian Ulema Council (MUI) to ban the doomsday-themed movie 2012. In my humble opinion, the call to prohibit the movie only based on rumor is controversial. Although this is not the first time it has made controversial decisions.
Several days ago, my friend and I decided to watch the movie. Afterwards, we had different reviews: I was slightly bored by the use of "the end of days" related theme while my friend thought the movie was entertaining. However, we both agreed the movie had amazing special effects.
To put it briefly, the movie tells us the story of a situation in 2009 where scientists found a number of occurrences showing the end of the world was near. Before that, the Mayans had predicted that 2012 would be the last days of earth. The movie narrates how the people struggle to survive on the so-called doomsday.
There is one scene that many believed initiated the MUI's decision to ban the movie: the scene that showed a mosque destroyed by an earthquake. Furthermore, MUI chief KH Mahmud Zubaidi in Malang mentioned that doomsday is something that "no man could predict" and "the movie is not appropriate because it could affect people's way of thinking."
In my opinion, however, this is not the case. The call by MUI has officially underestimated Muslims in Indonesia who can differentiate between fact and fiction. The movie itself was enjoyable and there are many things we can learn from the movie. Yes, there are no people who can predict the end of the world. The movie nonetheless did not explicitly mean to tell us when the end of the world is. It is only to show us what may occur if doomsday arrives.
The Mayans arguably never predicted anything about the doomsday. The speculation arises because their calendar stops at 2012. Therefore, the reckoning appears due to a loose interpretation about the calendar rather than the Mayans' prophecy. Ironically, the council's verdict has provided the movie with free publicizing. For instance, Twitter has mentioned many times that MUI should not ban the movie. Many Tweets (a post on Twitter) even ridiculed MUI by saying that they should focus on other issues rather than ban the Hollywood movie.
Finally, I think it is time for MUI to start believing in the ability of Indonesian Muslims to decipher fact from fiction. The fact is that MUI's actions lead society to see them negatively. The problem that needs to be solved is not banning the movie. What we should understand more is how society sees the movie.
Perhaps, we feel insecure about entering judgment day due to the many terrible things we have done in the past. Thus, the case is not about what movie says, but how we see ourselves reflected in the movie's plot.
Amahl S. Azwar
Jakarta
(Retrieved from: http://www.thejakartapost.com/news/2009/12/02/letter-learning-2012039.html )
Kamis, 25 Februari 2010
The Fabulous Fifteen: My Favourite Books of All Time
The Fabulous Fifteen: My Favourite Books of All Times tadinya adalah salah satu Notes saya di Facebook. Namun, saya tertarik untuk menaruhnya di blog saya. Sekadar untuk berbagi mengenai buku-buku yang saya sukai secara personal. Tentu saja tidak semua buku yang saya sukai ada di daftar ini. For example, Harry Potter. I choose not to put the series simply because all of my friends already known me for being a Harry Potter fan. So I guess, saya akan berikan saja beberapa buku fiksi dan non-fiksi yang akan selalu menjadi favorit saya dan jarang saya sebutkan di dunia maya.
1. Nothing Last Forever - Sidney Sheldon
Yup, ini adalah buku (tebal) pertama yang saya baca. Waktu itu saya masih kelas 5 SD, kalau tidak salah. Buku ini saya temukan tergeletak di kamar Ayah saya yang kebetulan koleksi bukunya memang luar biasa (walau saya belum baca semua). Kisahnya bagus, tentang tiga dokter wanita yang memulai karier di sebuah Rumah Sakit. Pada awal cerita kita akan menyangka bahwa sosok ketiganya begitu sempurna: kita keliru. Membaca buku ini saya kerap mengeluarkan komentar seperti "Oh, begitu toh" dan "Loh, kok enggak nyangka, ya?" berkali-kali. Mungkin buku ini adalah buku pertama yang membuat saya jadi suka membaca fiksi.
2. Veronika Decides to Die - Paulo Coelho
Salah satu sahabat saya, Hugo, memperkenalkan karya-karya Paulo Coelho kira-kira pada tahun pertama kami berkuliah. Sebetulnya sih saya suka hampir semua karya Paulo Coelho, kecuali yang saya belum baca (hehe). Tapi masa iya list ini isinya Paulo Coelho semua, jadi saya memilih buku Veronika Decides to Die--buku favorit saya. Sebagai orang yang terkadang punya kecenderungan untuk menjadi suicidal, buku ini membuat saya menjadi lebih menghargai hidup. He's a genuinely genius writer, Coelho.
3. Five People You Meet in Heaven - Mitch Albom
Hugo juga yang memperkenalkan saya kepada Mitch Albom. Menurut saya karya beliau yang paling patut dikoleksi adalah buku ini. Ceritanya cukup simpel. Mengenai bagaimana seorang lansia yang mantan tentara menjalankan kehidupan membosankan sebagai teknisi taman hiburan. Kakinya tertembak saat berada di medan perang, istrinya meninggal terlebih dahulu dan masa kecilnya dihiasi dengan sosok ayah yang cukup abusive dan bersikap dingin padanya. Sebuah kecelakaan di taman hiburan membuatnya kehilangan nyawa. Di Surga, dia bertemu lima orang yang masing-masing memberinya pelajaran akan hidup yang dia lalui. Versi dunia akhirat yang sangat manis, menurut saya. Senang rasanya bisa membaca opini baru tentang konsep "akhirat". Ketika banyak orang berkoar-koar tentang pahala dan dosa yang akan ditimbang dalam akhirat, buku ini menawarkan sebuah pandangan baru: mengapa kita hidup? It's great. It's really really great. Simple, but great.
4. Filosofi Kopi - Dewi "Dee" Lestari
Sama seperti Paulo Coelho, saya juga menyukai semua karya Dee. Termasuk Perahu Kertas yang nampaknya membuat beberapa teman saya komplain karena terlalu "berbeda" dengan novel-novel Dee sebelumnya. Ah well, kalau saya harus memilih satu saja buku Dee yang saya favoritkan, itu adalah Filosofi Kopi. Buku ini menunjukkan bahwa Dee cukup versatile sebagai seorang penulis. Mulai dari kisah 5 sahabat dan peran mereka masing-masing ("Buddha Bar"), filosofi kopi tiwus ("Filosofi Kopi"--buku ini yang menginspirasikan saya untuk mencoba jadi barista), fabel tentang kecoak ("Rico de Coro"), rasa penasaran yang berbuah tragedi dan penyesalan ("Mencari Herman") dan beberapa puisi serta prosa. Kumpulan cerpen dan prosa satu dekade ini bagaikan sebuah cikal bakal yang menunjukkan bahwa Dee tidak hanya lihai menulis cerita seperti Supernova saja. Kendati demikian, semua tulisan yang ada di dalam buku ini tetap "sangat Dee".
5. 9 dari Nadira - Leila S. Chudori
Menurut saya karya Leila S. Chudori ini cukup orisinil. Sebuah perpaduan antara kumpulan cerpen dan novel. Bisa dibilang novel karena sebetulnya semua kisah yang ada berpangkal kepada satu orang: Nadira, seorang jurnalis yang pada suatu ketika menemukan ibunya meninggal karena bunuh diri. Bisa juga dibilang kumpulan cerpen karena ada 9 kisah yang tidak melulu diceritakan dari sudut pandang Nadira--walaupun beliau tetap tokoh sentral cerita. Ada seorang ilustrator majalah yang diam-diam mengagumi Nadira tapi hanya bisa mengekspresikan perasaannya via sketsa, kakak sulung Nadira yang sampai harus rajin ikut terapi karena rasa bersalahnya kepada Nadira sampai jurnal almarhumah Ibu Nadira pada masa muda. Ilustrasi-ilustrasi Ario Anindito yang indah dan komunikatif dengan isi cerita membuat buku ini semakin layak untuk dikoleksi.
6. Rekonsiliasi: Islam, Demokrasi dan Barat - Benazir Bhutto
Rasanya saya tidak mungkin tidak memasukkan buku ini dalam list saya. Saya langsung jatuh hati pada Benazir Bhutto setelah dia menulis buku ini. Kemampuan dia untuk membuat deduksi mengenai bagaimana seharusnya Islam, Demokrasi dan Barat bisa saling menunjang betul-betul luar biasa. Perempuan berjilbab hijau ini benar-benar mampu menangkis semua pandangan 'dangkal' tentang Islam (baik pandangan dari dunia barat maupun dari kaum ekstrimis).
7. Perfume - Patrick Süskin
Perasaan saya campur aduk membaca buku ini. Di satu sisi saya mengagumi bakat Jean-Baptiste Grenouille tentang dunia aroma (apa itu istilah yang tepat?). Di sisi lain, saya juga merasa bahwa Grenouille terlalu sadis--walaupun dia mungkin tidak mengerti yang dia lakukan itu sadis. Satu hal yang saya suka dari Patrick Süskin adalah dia tidak segan untuk menceritakan dengan detail apa yang terjadi pada orang-orang yang telah ditemui Grenouille. Bahkan dia mengajak pembaca untuk ikut meresapi apa yang terjadi kepada mereka (yang rata-rata berakhir tragis) dengan alasan "karena kita tidak akan bertemu dengan mereka lagi, ada baiknya kita mengetahui bagaimana akhir hidup mereka."
8. The Interpretation of Murder - Jed Rubenfeld
Menampilkan cameo dari Sigmund Freud dan Carl Jung, Jed Rubenfeld mengisahkan tentang Dr. Stratham Younger yang melakukan analisis terhadap sebuah kasus pembunuhan dengan analisis psikologis terhadap Nora Acton, salah satu korban yang selamat. Dengan bimbingan dari Freud, Younger akhirnya menemukan bahwa sang pembunuh ternyata adalah .... ya, silahkan baca sendiri. *menghindari timpukan*
9. The Devil Wears Prada - Lauren Weisberger
Saya adalah seorang pembohong besar kalau saya bilang tidak menyukai buku ini. The Devil Wears Prada mengisahkan tentang seorang sarjana baru lulus bernama Andy Sachs yang mendapatkan pekerjaan sebagai asisten Miranda Priestly, editor majalah fashion nomor satu di Amerika, Runway. Kisahnya berlanjut mengenai perjuangannya untuk memenuhi keinginan luar biasa bos seperti membeli kopi Starbucks yang sudah dipermak sana-sini, mencari buku Harry Potter yang belum diterbitkan dll. Overall, walaupun masih terkesan chicklit, buku ini menceritakan mengenai bagaimana sulitnya dunia kerja bagi mereka yang baru lulus. Itu dan cara Weisberger menceritakan kisah-kisah perjuangan Andy Sachs cukup menghibur--terkadang sarkastik.
10. Introduction to Political Psychology - Martha Cottam, Beth Dietz-Uhler, Elena M. Mastors & Thomas Preston
Ya, sebelum anda mengantuk karena saya membawa buku dari rak buku kuliah saya, saya akan cepat saja. Buku non-fiksi ini menganalisis mengenai bagaimana pola masyarakat berpikir. Menarik memang, karena ada pembahasan mengenai karakter-karakter tertentu dari seorang kandidat pemilu misalnya, yang walaupun sebetulnya kapasitasnya tidak sebaik lawan politiknya, tapi mampu menggaet hati masyarakat yang berakhir pada kemenangan kandidat tersebut. Menarik. Saya sih berharap suatu saat nanti akan ada mata kuliah "Psikologi Politik Internasional" di kampus saya.
11. A Voice for a Just Peace - Ali Alatas
Kumpulan pidato-pidato almarhum Ali Alatas, seorang diplomat senior ulung yang kerap diandalkan oleh Indonesia. Rasanya senang melihat bagaimana beliau mampu menggaet simpati dengan cara berpidatonya. Salah satu kutipan yang paling saya suka adalah "a diplomat job is never ends".
12. Seni Berbicara Kepada Siapa Saja - Larry King
Larry King adalah salah satu ahli berbicara di dunia. Di dalam buku ini dia memberikan tips, analisis serta ilustrasi beberapa presenter lain dan mengajak pembaca untuk lebih percaya diri dalam berbicara. Baik itu untuk pidato resmi maupun percakapan sehari-hari, Larry King menjelaskan bahwa siapa pun bisa berbicara asal mengetahui kelebihan dan kekurangan masing-masing. Buku ini bagi saya adalah bacaan wajib bagi mereka yang membutuhkan tips dalam berkomunikasi dengan orang lain.
13. Mythical Creatures Bible: The Definitive Guide to Beasts and Beings from Mythology and Folklore (Godsfield Bible Series) - Brenda Rosen
Mulai dari Harpy, Bouraq sampai berbagai macam makhluk di dalam mitologi seluruh dunia dirangkum dalam buku ini. Brenda Rosen mampu mengilustrasikan masing-masing makhluk dengan bahasa singkat namun informatif. Buku yang menarik untuk dibaca bagi mereka yang menyukai mitologi, dongeng dll. Ilustrasi visualnya juga bagus! Mereka yang sedang berada di dalam proyek menulis cerita anak atau sekedar menyukainya patut membaca buku ini sebagai referensi.
14. Good Lawyer - Zara Zettira ZR, Rose Heart dan Rose Heart Writers
Kumpulan cerita hukum Indonesia ini hadir ketika banyak sekali orang yang meragukan kemampuan penulisan seorang blogger. Terlebih lagi, rasa awareness masyarakat akan hukum yang seakan kurang. Mencampurkan fiksi dan hukum rasanya masih jarang dilakukan oleh penulis Indonesia. Maka buku yang ditulis secara "keroyokan" ini mampu menghadirkan suasana hukum di dalam kisah fiksinya. Mulai dengan yang bernada jenaka ala serial Boston Legal sampai yang lebih serius ala Law and Order. Sumbangan cerita dari Zara Zettira ZR di awal buku merupakan pembukaan yang manis bagi para pembaca untuk membacanya sampai habis.
15. He's Just Not That Into You - Greg Behrendt and Liz Tuccillo
Saya menutup daftar ini dengan buku yang membuat saya tertawa. Ya, He's Just Not That Into You mungkin lebih terkenal dalam versi film yang antara lain diperankan oleh Jennifer Aniston, Scarlet Johansson dan Drew Barrymore. Sebetulnya istilah "He's Just Not That Into You" dimulai dari percakapan antara Greg Behrendt dan staf penulis serial Sex and The City. Salah satu anggota perempuan tim penulis itu *curhat* tentang seorang pria yang tidak memberikan respons terhadapnya. Ketika tim lain mengatakan bahwa "mungkin dia terlalu terintimidasi denganmu" atau "beri saja dia waktu", Greg Behrendt dengan lugas mengatakan "Look, maybe he's just not that into you". Yang akhirnya menjadi premis salah satu episode Sex and The City yang berlanjut ke sebuah film berjudul sama dan akhirnya berakhir pada buku ini. Buku ini bercerita tentang berbagai "excuse" yang diberikan perempuan terhadap pasangannya yang semua "ditangkis" oleh Greg Behrendt. Liz Tuccillo berperan sebagai penengah dan memberikan input terhadap para perempuan yang ada. Buku ini adalah salah satu buku yang sangat pas bagi mereka yang merasa cintanya ditolak. Buku ini menjelaskan bahwa setiap orang berhak mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang sepadan dan mengajak pembaca untuk berpikir rasional dan berhenti menyakiti diri sendiri. Cool.
Perhaps beberapa dari anda mungkin akan berpikir bahwa buku-buku yang saya baca cukup bervariasi. Well, itu karena saya merasa tidak perlu ada pakem atau membuat kotak-kotak terhadap selera orang :). Semoga beberapa buku yang saya cantumkan di sini bisa berguna. Tentu saja saya juga ingin mendengar buku-buku apa yang anda favoritkan. Buku adalah jendela dunia? You betcha!
Kamis, 28 Januari 2010
Koper LV, Uang Monopoli dan Kaca Mobil.
Hari ini adalah hari yang luar biasa bagiku. Aku menemukan sebuah koper teronggok di paving block belakang rumah. Beberapa menit sebelumnya, aku (yang sedang ingin merenung) menyangka bahwa hari ini adalah hari yang biasa. Aku menyenandungkan bait reff lagu Chasing Pavements dari Adele. Bersamaan dengan lantunan lirik lagu itu, aku berpikir: Bagaimana kalau aku membanting pintu saja terhadap semua hal sebelum semua hal membanting pintu di depanku?
Namun, benar kata seorang ahli self-healing dengan metode menulis bernama Sally Matahira. Belakangan, aku baru tahu bahwa Sally menginjak usia ke-27 pada tanggal 27 Januari. Sally pernah berkata bahwa hidup itu selalu memberikan petunjuk akan semua hal, layaknya rambu lalu-lintas. Apabila kita tidak melihatnya? Berarti, kaca jendela mobil kita yang buram. Ah, semua ini membuatku kangen pada si Kuda Catur yang memberikanku filosofi hidup. Yang aku dengar, saat ini dia berada di Bali.
Kutatap kembali koper lusuh di depanku itu. Sempat mata menangkap logo buram menjadi motif koper secara keseluruhan: LV. Kemudian aku menyadari dari sekian banyak kertas yang tersembul dari koper itu bahwa koper itu penuh berisi dengan uang. Kebetulan! Aku memang membutuhkan petualangan. Petualangan mencari Kuda Catur. Kuraih pegangan koper dan kuangkat. Aku ingin membawanya ke rumah, menghitungnya dan mulai merencanakan petualanganku.
Begitu sampai di kamar, aku membuka koper itu. Sudah tak sabar aku ingin menghitung uangnya. Namun ... Apakah kau pernah hendak menaiki anak tangga namun tiba-tiba anak tangga itu lenyap? Sensasi perasaan itu terjadi padaku.
Hatiku mencelos. Karena ternyata semua lembaran yang ada di dalam koper itu adalah lembaran yang lazim kau temukan ketika kita bermain monopoli. Aku ingin marah. Ingin rasanya aku membakar semua uang itu dan memecahkan rekor MURI karenanya. Aku frustasi. Bagaimana tidak? Gambar-gambar I Gusti Ngurah Rai mengedipkan mata ... Gambar Soekarno-Hatta memakai pakaian drag queen. Sekali lagi aku menjadi bahan humor lawakan semesta. Ada apa ini?
Baru saja aku hendak menebak apakah ini adalah awal dari petualangan ...
"Nak?"
Aku tersentak. Itu suara ibuku.
"Hentikanlah dulu permainan RPG-mu itu. Ayo, sudah saatnya makan malam."
Aku mematikan komputer setelah mengucapkan selamat tinggal kepada si koper LV. Sally Matahira benar. Aku sudah harus mencuci kaca depan mobilku.
Bandung, 23 Januari 2010.
Catatan Penulis:
Sally Matahira adalah parodi penulis untuk Sundea Belaka, penulis Salamatahari. Tulisan ini dibuat pada pertemuan kesekian Reading Lights Writer's Circle yang difasilitasi oleh Andika Budiman. Ah, dan yang berulang tahun pada tanggal 27 Januari adalah Nia Janiar. Usianya bukan 27, kok.
Langganan:
Postingan (Atom)