In the deepest hour of the night, confess to yourself that you would die if you were forbidden to write. And look deep into your heart where it spears its roots the answer and ask yourself; must I write? (Rainer Maria Rilke)
Senin, 09 November 2009
Kacamata
Syahdan, sebuah toko buku kecil di sudut Siliwangi ada satu sosok yang duduk di sofa mungil. Pandangan sosok itu menerawang. Dia membetulkan letak kacamatanya sambil menggaruk-garuk belahan bibir. Setelah beberapa saat, dia memutuskan untuk melepas kacamatanya itu. Dipandanginya bentangan pohon-pohon yang dapat terlihat dari jendela di balik sofa. Semua daun di pohon tersebut nampak buram. Seolah berada di dalam bidikan lensa kamera DSLR Canon yang tidak fokus.
Apabila ada sebelum, ada pula sesudah. Kini dia kembali memasang kacamatanya itu. Dipejamkannya mata sejenak untuk kemudian melihat bentangan pohon-pohon yang sama dari jendela di balik sofa. Dia merasakan sensasi perubahan. Sekarang pohon-pohon itu memiliki daun yang begitu hijau dan terang. Sensasi nikmat yang dirasakannya setelah memakai kacamata begitu terasa.
Tangannya kini meraih benda mungil di atas peti meja kayu. Jemarinya menari memencet tombol-tombol mengetikkan sesuatu. Sesuatu untuk dikirimkan ke dalam ponsel seseorang di salah satu sudut Kota Jakarta.
Dia menulis: "Apabila mencintai seseorang dapat diibaratkan dengan memakai kacamata. Then, you are my glasses. With you, the trees looks brighter. With you, the leaves looks greener. And my eyes feels so much better."
12 digit nomor pemilik ponsel itu diketik sudah. Satu tombol "OK"ditekan untuk mengirimkan surat elektronik itu teriring ucapan Godspeed. Sementara orang menunggu dengan cemas apakah surat itu akan mendapatkan balasan, Dia memilih untuk tersenyum.
Dia telah belajar untuk melepaskan. Mencintai cinta itu sendiri tanpa rasa takut yang berakar dari rasa ego. Dikembalikannya benda mungil itu pada letaknya semula. Adalah secangkir cokelat hitam putih dengan Yin Yang Chocolate yang diseruputnya sambil memandang pohon-pohon dari jendela di balik sofa. Dia merasa sejuk: jiwa, raga dan fikiran. Dia tersenyum. Memamerkan giginya yang teroleskan selaput cokelat hitam putih.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Wow....
BalasHapusnice mahel!
sudut pandang baru tuh...
jika mencintai itu adlh menggunakan kaca mata!!
you ar the glasses!! so inspired!! >,<
indah dan berkesinambungan.hehehe...
BalasHapusgambar yang menyenangkan untuk di'serapi'.
@blueismycolour
BalasHapus:) Yes. I am very glad you found it inspiring. However, we must note the fact that the glass should be the one who made for us.
Jadi, apabila bukan kacamata yang memang sesuai dengan resep dokter alias pas untuk kita, tentunya dunia akan tampak buram.
Thank you for the humble comment.
@BeluBelloBelle
Terima kasih banyak. :) Semoga bisa memberikan *sesuatu* untuk anda.
Gua suka bagian ini : "Dia telah belajar untuk melepaskan. Mencintai cinta itu sendiri tanpa rasa takut yang berakar dari rasa ego."
BalasHapusdan fotonya.
Nice post, Hel ... =)
Thanks Sundea
BalasHapusComing from you, it's an enormous compliment indeed.
:)