Minggu, 25 September 2011

Dongeng- a short story

BEHA hitam dan kamar hotel murahan.
Sesosok perempuan beranjak dari ranjang berantakan. Kuku-kuku dilukisi warna gelap membetulkan letak beha di dada. Mala, nama si pedusi, menyalakan sebatang rokok dan menenggak sebotol alkohol. Rambut jatuh menutupi punggung kemudian ia gelung ke atas.
“Aku suka tatomu,” ujar pria telanjang yang tidur terlentang di kasur.
Mata Mala melirik huruf-huruf latin di lengannya kemudian berputar. Seolah pujian itu sudah terlalu sering ia dengar.
“Apa artinya?”
“Percayalah, kau tidak mau tahu. Faktanya, tidak pernah ada yang tahu kecuali si pembuat tato.”
Pria kaukasian itu berdiri, masih dalam keadaan telanjang, lalu mendekatkan mukanya ke wajah Mala. Kedua lengan penuh urat-urat otot itu merengkuh punggung Mala nan mulus.
“Mau coba pecahkan rekor?”
Mala tergelak dan tersedak alkohol.
Si pria kaukasian ia temukan menggelandang di sebuah rumah disko robotik. Sam, Smith, atau siapalah namanya. Si pria mengklaim telah meniduri seluruh wanita pendatang di tempat remang-remang itu. Seraya meletakkan pahanya di atas celana jins si pria, Mala berbisik menantang.
“Mau coba pecahkan rekor?”
Sejatinya, Mala hanya memandang si pria kaukasian bak anjing tersesat. Di lain pihak, Mala ini penyuka anjing. Termasuk gaya anjing yang menjadi penyebab si kasur porak poranda.
“Untuk ukuran wanita Indonesia, Mala, kau terlalu banyak minum.”
“Alkohol memang tidak baik untuk kesehatan. Akan tetapi, mary jane alias ganja dapat membuat tubuh terasa enak. Jadi begitulah, ganja di kala sakit dan alkohol saat bugar.”
“Aw, aku yakin kau sangat bugar tadi.”
Si pria kaukasian berdiri. Serentak kedua bibir itu berpagutan.
“Sekadar penasaran. Kenapa beha hitam?”
“Banyak hal yang bisa kau pelajari dari apa yang perempuan kenakan dan lepaskan.”
“Dan untuk siapa mereka lepaskan baju itu?”
“Betul,” timpal Mala.
“Ada jejak rasa vodka dan tembakau di lidahmu, aku suka,” timpal pria kaukasian dengan lidah masih di rongga mulut Mala.
“Kau suka?”
“Sangat.”
“Kau melupakan satu rasa.”
“Apa?”
“Sesuatu yang tadi kau minta telan.”
Bibir si pria kaukasian membentuk seringai.
“Kau memang spesial, Mala.”
Kata-kata itu membuat Mala kembali berlutut di lantai kamar. Seringai si pria kaukasian melebar seiring terbukanya labium Mala yang mendekati selangkangannya. Bak prajurit Sparta menang perang, si pria kaukasian mengangkat kedua tangannya. Superior.
Seperti Putri Tidur yang terbangun setelah dicium orang asing, Mala selalu merasa hidup dengan meniduri berbagai jenis pria yang baru ia temui.
Kau hanya satu di antara mereka, Sayang.

***

Beberapa menit menjelang Matahari mendatangi ufuk timur.
Sepasang sepatu hak tinggi melangkah diam-diam memasuki teras rumah. Perlahan, tangan Mala mendorong pintu kayu jati. Lamat-lamat kedua matanya menangkap Bunda yang tengah duduk bertopang dagu di ruang depan. Satu piring penuh bekas kulit apel tergeletak di meja.
“Mala,” cetus Bunda memulai pembicaraan. “Lihat, sekarang sudah jam berapa? Perempuan baik-baik tidak ada yang baru pulang jam segini.”
Aku penasaran apakah sepuluh tahun lalu Bunda berpikiran sama.
Mala merapatkan jaket kulitnya dan bertolak ke kamar. Bunda beranjak dari tempat duduknya dan menghambur ke putri semata wayangnya itu.
“Mala, dengarkan Bunda!”
“Sudahlah, Bu!” tukas Mala beringsut dari hadapan Bunda. “Begini saja, sekarang apa bedanya aku dengan dongeng Upik Abu yang dulu sering Bunda bacakan?”
Tangan Bunda sudah terangkat tetapi kemudian ia turunkan kembali. Ingatan Mala kembali pada sekelumit kisah Upik Abu yang keluar tengah malam demi mengejar impiannya.
Cinderella sudah berjanji akan pulang sebelum tengah malam. Namun, ia tetap bersikukuh tinggal di pesta dansa hingga satu per satu keajaiban Ibu Peri memudar.
“Sana, masuk kamar!” dentuman suara Bunda mengembalikan Mala ke bumi.
“Dengan senang hati.”

***

Akhir bulan.
Mala mengendap-endap masuk ke kamar Bunda. Jari jemarinya ia jentikkan sebelum menarik pegangan pintu lemari. Tepat saja, sebuah peti kayu yang terbuka sedikit ada di laci tengah. Karuan saja hati Mala bersorak-sorai. Sebuah solusi untuk melunasi hutang-hutangnya ia temukan.
Ketemu, pekik Mala dalam hati.
“Mala!” pekik Bunda di belakang Mala.
Mala terkaget, semenit lalu perempuan setengah baya itu masih tertidur pulas.
Dasar Pinokio, hardik Mala dalam hati.
Tenaga Bunda tiba-tiba luar biasa. Pundak Mala yang sepuluh senti lebih tinggi ia tarik dan hempaskan ke ranjang. Putri semata wayangnya satu itu.
“Mala! Apa-apaan ini?”
Bunda menutup lagi peti kecil berisikan kalung, cincin, dan giwang emas.
“Mala, ini tidak benar. Bunda tidak menyangka kamu sampai hati mencuri perhiasan ini.”
“Bunda ini hipokrit!”
Kulit tangan berbenturan dengan pelipis rasanya tidak enak.
“Bunda ini kenapa, sih?” gerung Mala mengusap-usap bekas tamparan sang Ibu.
“Bukankah dongeng Robin Hood yang dulu sering Bunda bacakan memperlihatkan bahwa mencuri itu tidak apa-apa?”
“Itu beda, Mala! Robin Hood itu mencuri untuk memberikannya kepada mereka yang membutuhkan!”
“Aku orang yang membutuhkan, Bunda!”
Mala mengibaskan rambutnya dan meninggalkan kamar Bunda. Bunda mengawasi seksama tatkala punggung mulus si anak menjauh.
Dan Robin Hood menyerahkan uang hasil curian dari Raja Tamak kepada fakir miskin.

***
Kali ini, botol alkohol ditenggak Mala di meja makan. Ia duduk berhadap-hadapan dengan Bunda. Mereka baru saja menghabiskan potongan-potongan apel yang Mala tidak suka sebelum Bunda mendeham.
“Ada apa lagi, Bunda?”
Mala melengos.
“Bunda ingin kamu jujur, Mala.”
“Tentang apa?”
Bunda mengangkat sebuah kemasan alat kontrasepsi dan melemparnya tepat ke sebelah piring apel.
“Kenapa bisa ada benda ini di kamar kamu? Siapa yang kamu ajak tidur di kamar?”
“Bukan urusan, Bunda!”
“Mala, kau tidak boleh berbohong. Itu dosa."
Maya memutar matanya.
"Tenang, Bu. Aku hanya mencontoh dongeng Pinokio. Buku yang dulu sering Ibu bacakan? Dia kan tukang bohong."
Bunda hanya bisa mengusap-usap dada.
Hidung Pinokio selalu memanjang setiap ia berbohong.

***

Ibarat biji kopi yang mulai ranum, Mala mulai meramu balon-balon pikirannya. Otak Mala tengah mem-brew memori di pikirannya. Sembari mengisap rokok mentholatum, satu persatu balon pikiran Mala pecah dan ia pun memutar lagi cerita masa kecilnya.
Bagaimana ia mendengar suara sang Ayah memaki-maki Bunda yang selalu keluyuran tengah malam.
Bagaimana sang Ayah mendamprat habis Bunda yang ketahuan menyelundupkan kartu kreditnya dan membeli perhiasan-perhiasan mahal.
Suatu hari, mata Mala menangkap sosok gelap menikam punggung sang Ayah yang tengah terlelap. Si perampok, hanya itu identitas yang Mala tahu, mencumbu Bunda sebelum kabur di tengah kegelapan malam.
Di hadapan polisi, Bunda menampilkan penampilan ala teater dan bersumpah atas nama Bunda Maria dirinya tidak tahu apa-apa.
Tidak ada yang percaya pada bualan anak kecil, batin Mala kecil. Kisah Alice di Negeri Ajaib mengilustrasikan ini semua.
Mala pun hanya meringis ketika Bunda membacakan cerita-cerita dongeng tiap malam dan mencekokinya buah apel yang tidak pernah ia suka.


***

Suatu hari Mala kembali pulang dari diskotik lewat tengah malam. Begitu membuka pintu, terkejut Mala melihat sang Ibu tengah bercumbu di ruang tamu dengan tujuh pria sekaligus.
"Ibu? Apa-apaan ini?"
“Tenang, Mala. Apa bedanya pertunjukan ini dengan dongeng Snow White alias Putri Salju yang tinggal bersama tujuh pria sekaligus? Terima kasih, Mala, kau menginspirasi Bunda."
Mata Mala jatuh pada tangan-tangan pria yang mengusap-usap dada Bunda. Ia pun beringsut ke kamar dan tak memedulikan lenguhan lembu yang memenuhi ruang tamu. Diam-diam, ia mengeluarkan sesuatu dari tasnya dan menyambangi dapur.
Mala membuka kulkas dan menemukan potongan-potongan apel di rak nomor dua.
Dengan khidmat, Mala membubuhkan racun tikus ke tiap-tiap potongan apel.
Sudah lama aku tunggu momen ini, Bunda. Oh, jangan salah. Akan kupastikan akhir ceritamu berbeda jauh dengan Putri Salju. Karena, Bunda, meski tadi kau bilang tingkah kumpul kebomu ibarat dongeng itu, kau bukan Putri Salju.
Akan kupastikan tiada pangeran yang akan membangunkanmu nanti.
Senyum artifisial menghiasi wajah Mala yang memastikan hidangan apel itu ada di meja keesokan harinya.

Kebon Jeruk, Desember 2010

Diterbitkan di Majalah Esquire, edisi Februari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar