Sabtu, 13 Maret 2010

Reuni Kecil Toni Braxton dan Adik-adiknya di Java Jazz International 2010

Sesuatu yang menarik terjadi saat Toni Braxton mengadakan konser Sabtu (6/3) kemarin di JJF 2010. Selain mengundang Kenneth "Babyface" Edmonds menyanyikan satu lagu berjudul "Whip Appeal", Toni mengajak saudarinya Towanda Braxton untuk bernyanyi bersamanya. Bersama dua saudari Braxton lainnya, Trina dan Tamar, Towanda menyanyikan cuplikan lagu En Vogue berjudul "My Lovin' (Never Gonna Get It)".

Rasanya masih sedikit orang Indonesia yang tahu bahwa sebelum menjadi penyanyi solo, Toni Braxton memulai kariernya sebagai lead vocal grup The Braxtons. Di luar Toni, grup ini terdiri dari empat adik-adiknya: Traci, Trina, Towanda dan Tamar.

Mereka merilis lagu The Good Life pada tahun 1990. Lagu itu tidak menjadi hits, namun suara alto Toni menarik perhatian Antonio "L.A." Reid dan Babyface sendiri. Sayangnya, saat itu LaFace Records yang didirikan L.A. Reid dan Babyface sudah punya grup vokal TLC. Toni pun menandatangi kontrak sebagai penyanyi solo pertama di label tersebut.



Sebuah reuni kecil sebetulnya pernah terjadi. Ketika Toni mengeluarkan video untuk lagunya Seven Whole Days, adik-adiknya muncul sebagai penyanyi latar.

Pada tahun 1996, Trina, Towanda dan Tamar mengeluarkan album berjudul So Many Ways. Traci yang saat itu tengah hamil mengundurkan diri dari grup vokal itu. So Many Ways antara lain menampilkan kebolehan The Braxtons membawakan ulang lagu Diana Ross berjudul The Boss.

Grup ini akhirnya bubar ketika Tamar yang mampu bernyanyi dengan whistle register ala Mariah Carey dan Shanice memutuskan untuk bersolo karier. Tamar memang tidak sesukses kakaknya, Toni. Namun dirinya dikenal sebagai penyanyi klub yang cukup diakui, walaupun tidak memiliki hits.

Trina memilih jalur yang sedikit berbeda. Dia tampil di beberapa panggung broadway dan drama musikal seperti pada tahun 2004. Ia tampil di Meet the Browns karya Tyler Perry.

Akhirnya, kedua adik Toni ini membantu kakaknya sebagai penyanyi latar. Mereka sering terlihat hadir mendukung Toni saat manggung. Termasuk ketika Toni Braxton konser di Jakarta kemarin. Kehadiran Tamar yang sekilas mirip dengan Toni sempat membuat penonton heboh. Mereka mengira Toni yang muncul. Belakangan mereka baru sadar bahwa itu adalah penyanyi latar. :)

Berikut foto Tamar dan kakaknya, Toni.



Towanda yang sering merasa seperti black sheep di antara kelima saudarinya, muncul di serial Starting Over season 2. Reality show ini adalah sebuah acara dimana perempuan yang pernah merasa gagal di dalam hidupnya memulai lagi dari awal dengan semangat baru.

Berikut foto Towanda.



Towanda mengaku dia kerap iri dengan kesuksesan kakaknya, Toni. Begitu pula dengan kedua saudarinya yang lain, Trina dan Tamar. Dia juga kesal dengan sikap Traci yang begitu saja keluar dari The Braxtons dan (menurutnya) tidak jujur soal kehamilannya.




Namun, begitu melihat mereka semua tampil di Java Jazz kemarin ... jelas kalau mereka semua sudah kembali rukun. Memang tidak semua orang di Indonesia mengetahui hal ini, makanya saya berbagi. Sayang, saya tidak menemukan foto-foto yang mengabadikan saat mereka bersama di panggung.

Kisah Toni, Traci, Trina, Towanda dan Tamar sebetulnya adalah sebuah kisah yang bisa kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana, at the end of the day, family comes first.

Apalagi mengingat Toni yang beberapa tahun belakangan ini menurun prestasinya. Rasanya senang melihat keluarga Braxtons saling mendukung dengan berbagai cara. Melihat talenta dan mendengar suara mereka yang luar biasa ... tinggal tunggu waktu untuk melihat klan Braxtons kembali berjaya!

Senin, 01 Maret 2010

Letter: Learning from `2012'

Letter: Learning from `2012'

Wed, 12/02/2009 2:09 PM | Reader's Forum

While many eyes of Indonesians have been startled by the ongoing news about the KPK case, another story made me raise my eyebrows: the recent call by clerics from the Indonesian Ulema Council (MUI) to ban the doomsday-themed movie 2012. In my humble opinion, the call to prohibit the movie only based on rumor is controversial. Although this is not the first time it has made controversial decisions.

Several days ago, my friend and I decided to watch the movie. Afterwards, we had different reviews: I was slightly bored by the use of "the end of days" related theme while my friend thought the movie was entertaining. However, we both agreed the movie had amazing special effects.

To put it briefly, the movie tells us the story of a situation in 2009 where scientists found a number of occurrences showing the end of the world was near. Before that, the Mayans had predicted that 2012 would be the last days of earth. The movie narrates how the people struggle to survive on the so-called doomsday.

There is one scene that many believed initiated the MUI's decision to ban the movie: the scene that showed a mosque destroyed by an earthquake. Furthermore, MUI chief KH Mahmud Zubaidi in Malang mentioned that doomsday is something that "no man could predict" and "the movie is not appropriate because it could affect people's way of thinking."

In my opinion, however, this is not the case. The call by MUI has officially underestimated Muslims in Indonesia who can differentiate between fact and fiction. The movie itself was enjoyable and there are many things we can learn from the movie. Yes, there are no people who can predict the end of the world. The movie nonetheless did not explicitly mean to tell us when the end of the world is. It is only to show us what may occur if doomsday arrives.

The Mayans arguably never predicted anything about the doomsday. The speculation arises because their calendar stops at 2012. Therefore, the reckoning appears due to a loose interpretation about the calendar rather than the Mayans' prophecy. Ironically, the council's verdict has provided the movie with free publicizing. For instance, Twitter has mentioned many times that MUI should not ban the movie. Many Tweets (a post on Twitter) even ridiculed MUI by saying that they should focus on other issues rather than ban the Hollywood movie.

Finally, I think it is time for MUI to start believing in the ability of Indonesian Muslims to decipher fact from fiction. The fact is that MUI's actions lead society to see them negatively. The problem that needs to be solved is not banning the movie. What we should understand more is how society sees the movie.

Perhaps, we feel insecure about entering judgment day due to the many terrible things we have done in the past. Thus, the case is not about what movie says, but how we see ourselves reflected in the movie's plot.

Amahl S. Azwar
Jakarta

(Retrieved from: http://www.thejakartapost.com/news/2009/12/02/letter-learning-2012039.html )