Rabu, 16 Juni 2010

Review Film Minggu Pagi di Victoria Park: Sepotong Ahad Kaum Marjinal Indonesia di Belahan Dunia





Judul : Minggu Pagi di Victoria Park
Pemain : Lola Amaria, Titi Sjuman, Donny Alamsyah, Imelda Soraya, Permatasari Harahap
Sutradara : Lola Amaria
Penulis : Titien Wattimena
Produser : Sabrang Mowo Damar Panuluh, Dewi Umaya Rachman
Produksi : Pic[k]lock Production
Durasi : 97 menit

DUA orang pembantu alias TKI dan anak-anak asuh mereka pulang dari sekolah dasar. Salah satu dari mereka menggerutu karena si anak laki-laki yang merupakan anak majikan lagi-lagi berkelahi meski sudah dilarang. Ketika tuan mudanya mengeluh karena selalu dihina berdasarkan posturnya, si pengasuh pun naik pitam.

“Mayang bilang, kamu harus menerima kekurangan bahwa tubuh kamu itu kecil. Jika kamu tidak mau ikhlas, seumur hidupmu terisi dengan frustrasi dan amarah.”

Sepenggal kalimat itu terucap dari bibir Sari yang menerjemahkan perkataan temannya kepada anak asuhnya. Rekannya yang bernama Mayang (diperankan Lola Amaria) meminta agar Sari yang mengalihbahasakan dialek Indonesia-Jawa menjadi bahasa Kanton. Sari pun menyanggupi.

Terenyuh, si bocah memeluk pembantunya.

Itu adalah sekilas kisah hidup perempuan yang menjadi pahlawan devisa di mancanegara. Benang merah itu yang ingin ditampilkan kru film Minggu Pagi di Victoria Park. Penulis sempat melihat pola yang sama film besutan Ani Ema Susanti yang sempat menggagas kisah serupa. Bedanya, penampilan sutradara kali ini lebih menekankan kepada fiksi mini. Mini, karena sebagian besar realita ditampilkan begitu riil sampai terkesan film ini menjadi handbook untuk para calon TKI.

Namun, cerita yang sederhana dapat ditampilkan dengan kompleksitas dari rangkaian gambar di balik rangkaian pita seluloid. Sesungguhnya plot-plot yang ditampilkan cukup simpel: persaingan dua anak untuk mendapatkan pengakuan bapak, memberikan materi sebagai bentuk kasih sayang kepada pasangan, konflik batin seorang kakak yang iri tetapi mengasihi adiknya sampai cinta sesama jenis. Namun, kompleksitas justru muncul dari hal-hal sederhana tersebut.

Daya tarik Minggu Pagi di Victoria Park bisa jadi terletak di dua pemeran utamanya. Baik Lola Amaria maupun Titi Sjuman (yang kemarin menggaet hati audiens via penampilan apik di Mereka Bilang, Saya Monyet!) memberikan penghayatan penuh. Lola berperan sebagai Mayang, sulung yang haus perhatian ayah dan merasa biasa-biasa saja. Titi memerankan si bontot bernama Sekar yang selalu menjadi pusat tata surya kaum adam di sekitarnya—terutama ayahanda.

Cuplikan-cuplikan yang terselip di antara inti cerita mampu membangun pemahaman mengenai apa yang menyebabkan Mayang begitu ogah melacak si adik—terlepas dari kenyataan bahwa dirinya memang ditugasi pergi ke Hong Kong oleh bapak untuk itu.

Minggu Pagi di Victoria Park mengisahkan suka duka pembantu rumah tangga yang mendominasi sektor ketenagakerjaan di luar negeri. Seluruh konsekuensi atas tekanan jiwa yang dapat dialami TKI dikupas di dalam film ini mulai dari terbelit utang, menjual diri untuk mendapatkan pemasukan, sampai menutup riwayat pribadi karena tidak tahan menghadapi hidup.

Kekurangan sinema ini adalah terlalu banyak realita yang ingin dirangkum dalam sebuah cerita linear. Hal ini dapat mengakibatkan sebagian penyimak menganggap ada cerita yang terlalu berlebihan dan mengada-ada. Padahal, bisa jadi itu memang berdasarkan fakta.

Kelemahan yang sama terdapat pada film Alangkah Lucunya karya Deddy Mizwar yang, terlepas dari pertanyaan sosial yang diberikan, luruh ke dalam nilai-nilai komersialitas yang berlebihan. Penyajian merupakan hal yang terpenting dalam menyampaikan cerita, tetapi kearifan penonton untuk bisa meresapi makna di balik narasi jauh lebih penting.

Ending film ini meski termasuk kategori “bahagia” masih dibumbui klip masa silam yang membuat kita mengerti sepenuhnya dari mana kisah ini dimulai sebelum diakhiri. Di luar itu, terlihat cuplikan pagi Ahad di belahan dunia lain menampilkan sorakan “pahlawan devisa” menyambut grup musik kesayangan mereka. Band yang mungkin bagi kalangan tertentu di Indonesia dipandang tidak “keren” atau “trendi.” Ah, realita ... (*)